[46] Ignorance

17.1K 1.5K 243
                                    

"Everyone says that first love is unforgettable. Yes it is. Even it is my biggest ignorance."

DENTINGAN piano yang mengalunkan melodi indah itu berakhir dengan apiknya di dalam ruangan ini. Menyusul suara tepuk tangan dari seseorang yang memang sedari tadi menyimak tepat di sisi sang pemain.

Lelaki itu pun melepas jemarinya dari tuts hitam-putih tersebut, membawanya ke pangkuan sembari mengalihkan pandangannya pada perempuan yang sudah tersenyum penuh bangga padanya. Menular padanya hingga ikut tersenyum.

"Kakak belum pernah dengar kamu mainin itu. Tapi kamu pandai sekali memainkannya," puji perempuan itu. "Ternyata kamu juga bisa belajar giat sendiri, ya, Megan."

"Iya, dong. Kakak suka, 'kan?" Megan, lelaki dengan lengkungan cerah di bibir itu menatap antusias perempuan di sebelahnya. "Megan latihan lagu ini dari lama. Dan ini memang Megan kasih khusus buat Kakak."

"Oh ya?" mata Rosa berbinar haru. Tangannya mengusap-usap kepala Megan, sedikit memainkan rambut hitam yang menutupi seluruh dahi lelaki itu, membingkai garis wajahnya yang menawan bercampur lugu. "Jadi ini yang kamu maksud dari kemarin, mau kasih Kakak kejutan?"

Megan mengangguk disertai senyum semringah. "Selamat ulang tahun, Kak Rosa! Megan senang bisa kenal dan jadi murid Kakak. Megan suka sama Kakak."

Rosa tertawa mendengarnya. Tidak terkejut lagi dengan ucapan Megan tersebut. Megan sudah sering mengatakannya tiap kali mereka bertemu. Sejak tahun lalu.

Tetapi Rosa segera melenyapkan tawa ketika lelaki itu melakukan hal yang tidak pernah ia duga. Mengecup pipinya, di mana setelahnya Rosa menemukan adanya tatapan tak biasa muncul di mata hitam Megan yang selalu memancarkan kepolosan itu.

"Ini serius, Kak. Megan suka sama Kakak. Seperti laki-laki yang jatuh hati sama perempuan." Megan menatap sungguh-sungguh perempuan di sampingnya. "Awalnya Megan pikir ini kayak mengagumi guru kesukaan Megan di sekolah, tapi Megan sadar kalau ini kayak yang dirasakan teman-teman Megan sebelum nembak cewek yang mereka suka."

Rosa terkalang lidah untuk beberapa saat. Tidak biasa menghadapi seorang Megan Atharizz yang seserius ini. Dia sampai memegangi pipinya yang masih dirasakan jejak kecupan lelaki itu.

"Megan jatuh hati sama Kakak. Megan suka sama Kakak sebagai perempuan, bukan guru les Megan."

Ucapan lugas Megan menghenyakkan Rosa. Ia segera berdeham, menunduk sejenak sembari merapikan poninya yang jatuh. Rambut panjangnya yang diikat ke belakang menampakkan paras wajahnya yang begitu muda dibandingkan usianya saat ini.

"Kakak nggak mungkin menerima kamu, Megan. Kamu adalah murid Kakak, dan Kakak adalah guru kamu. Kakak dan kamu itu berbeda jauh sekali."

"Karena usia Megan dan Kakak yang berbeda jauh?" Megan menggeleng. "Tapi Megan nggak peduli soal itu. Lagipula Kakak juga belum punya pacar, 'kan?"

"Itu nggak ada hubungannya, Megan. Kakak cuma ... memang nggak bisa menerima suka kamu yang satu ini."

"Tapi Kakak pernah bilang suka juga sama Megan. Kenapa sekarang Kakak justru nggak mau terima rasa suka Megan?"

"Suka itu punya banyak makna. Kakak memang suka sama kamu. Kamu anak yang baik dan pintar. Kakak tentu bangga punya murid seperti kamu."

Pancaran di mata Megan sedikit meredup. "Kakak nggak bisa lihat Megan lebih dari seorang murid?"

Rosa membuat jeda. Menarik napas dalam secara perlahan sebelum kembali menatap lelaki di hadapannya.

"Kamu masih empat belas tahun, Megan. Itu salah satunya. Dan Kakak nggak mungkin suka sama anak kecil seperti kamu. Kamu sendiri belum tentu mengerti dengan suka yang kamu kasih ke Kakak."

S P L E N D I DWhere stories live. Discover now