[29] Hide in Me

21.5K 1.8K 184
                                    

“Although it's hard, you don't have to be alone. I'm ready to listen.”

   

SETELAH menyerahkan tumpukan lembar jawaban milik kelasnya, Thalia segera pamit undur diri dari ruang para dosen berada. Baru saja mata kuliah hari ini mengadakan kuis dan Thalia ditunjuk mengumpulkan lembar jawaban dan mengantarnya ke ruang berakhir.

Begitu berhasil keluar dari sana, helaan napas lega keluar dari mulutnya. Tugasnya sudah berakhir jadi kini dia bisa menyusul Pevita yang pasti sudah memesankan makanan untuknya di kantin.

“Thalia!”

Kontan saja Thalia menoleh, menemukan Daniel berlari menghampirinya lalu mendesah lega begitu berdiri di hadapannya. Lelaki itu membenarkan ransel hitam di bahu lebarnya sebelum membuka percakapan disertai senyum nan khas.

“Kemarin kamu nggak masuk. Sakit, ya? Dengar dari Pevita dua hari lalu kamu sempat pingsan di FISIPOL.”

Um ... iya, kayaknya aku kecapean. Tapi sekarang aku udah sehat lagi, kok.”

“Aku bisa lihat itu. Syukurlah.” Ada kelegaan terpetak jelas di ucapan maupun ekspresi Daniel. “Aku beneran kaget karena baru tau kemarin. Itu pun kalau aku nggak nanya Pevita, aku nggak bakal tau kenapa kamu nggak masuk. Terus, katanya kamu dijemput pulang sama Atha, ya?”

“Aku emang minta tolong dia buat jemput,” jawab Thalia disertai senyum canggung. Ingatannya kembali memutar momen di mana dia menelepon Atha, menangis sampai meminta tolong pada lelaki itu seakan hanya Atha yang mampu menolongnya.

Kalau dipikir-pikir, memalukan rasanya sudah berani bertindak demikian. Thalia sungguh tidak dapat berpikir panjang saat itu.

Ditambah, mengingat Atha sama saja mengingat kekonyolannya kemarin. Thalia masih mewanti-wanti, apakah Atha mengetahui perbuatannya di media sosial kemarin atau tidak.

“Oya, kamu udah kumpulin makalah buat Pak Doni? Kemarin dia bilang masih kasih peluang buat yang nggak masuk kemarin buat kumpulin hari ini.” Daniel berhasil menarik Thalia dari lamunan singkat.

“Udah aku kumpulin tadi pagi. Tapi, nggak ada tugas dari dia kemarin, 'kan?”

“Nggak ada. Kemarin kita nuntasin bab dua karena minggu depan mau ngadain kuis. Catatannya lumayan banyak. Aku bisa pinjamin ke kamu buat disalin kalau mau.”

“Boleh?” tentu saja Thalia menyambutnya antusias. Ke mana lagi dia bisa mendapatkan hal sama kalau bukan Daniel yang terkenal paling rajin menyimak di kelasnya? Thalia bahkan meragukan Pevita bisa melakukan hal sama mengingat temannya itu justru lebih banyak menyalin catatan darinya.

Daniel dengan senang hati merogoh ransel hitamnya, mengeluarkan satu buku catatan untuk diserahkan pada Thalia. “Bisa kamu kembaliin hari Senin besok, kok,” celetuknya diselingi cengiran menawan. Menular begitu saja pada Thalia. Menjadikannya pemandangan menarik di mata Daniel. “Tha, aku boleh minta nomor handphone kamu?”

“Eh?” ada kilatan kaget melintas di mata jernih Thalia. Kaki-kakinya sampai berhenti melangkah. Di mana reaksinya berhasil membuat seorang Daniel menggumam salah tingkah.

“Aku belum punya nomor kontak kamu kalau keinget mau nanya sesuatu pas lagi nggak di kampus. Kayak kemarin juga, aku kebingungan mau nanyain kabar kamu. Pevita nggak mau ngasih karena masalah privasi. Aku rasa memang harus minta ijin ke kamu secara langsung.” Daniel mengamati ekspresi melongo Thalia terlebih dulu. “Jadi, boleh nggak?”

“Oh ... um ... iya, ya.” Thalia terkekeh sumbang.

Padahal mereka teman sekelas. Sering bertemu dan mengobrol, terkadang juga suka bertukar pikiran masalah materi kuliah. Tapi hanya sampai sebatas itu. Kalau dipikir-pikir, sifat Thalia yang terlalu membatasi hal apapun membuatnya semakin terlihat tertutup di mata banyak orang. Termasuk Daniel.

S P L E N D I DWhere stories live. Discover now