[50] I Wanna Have

19.5K 1.6K 221
                                    

“The feelings I've kept hidden keeps slipping out. When I see you, when I face you, I get dizzy. Because you are all I want for this moment.”

BELUM lama Thalia pulang, ia harus mematung di kamarnya sembari memandangi Fatya. Mencerna ucapan mamanya yang tengah membereskan beberapa pakaiannya untuk disimpan ke dalam tas besar.

“Pulang ke Jakarta, Ma?” Thalia mengerjap sekali. “Kenapa Lia harus pulang? Lia ... 'kan masih kuliah....”

“Cuma sebentar. Kamu ngiranya Mama mau ngurungin kamu di kamar lagi?” Fatya pun mengalihkan fokusnya pada Thalia. “Kemarin Papa nemuin orang yang bisa nyembuhin kamu. Ada teman kuliahnya dulu ternyata coach di organisasi edukasi untuk orang trauma sama autis. Kalau di tempat teman Papa, kamu bakal jalanin coaching sampai kamu bisa atasi trauma kamu.”

Thalia menarik kursi dari meja belajarnya, mendudukkan diri di sana. “Terus nanti Lia kayak dihipnotis gitu, suruh ngebayangin Lia lagi ada di mana, ngapain, sampai Lia merasa tenang. Habis itu dokter kasih obat ke Lia. Iya, 'kan?”

“Ini beda, Sayang. Di sini namanya programming mindset, kamu akan disembuhin dengan cara diubah pola pikir negatif kamu menjadi sebaliknya. Malahan, katanya nggak cuma trauma kamu itu yang bakalan disembuhin.”

“Emang apa lagi yang harus disembuhin?”

“Semua orang itu sebenarnya punya trauma, Lia. Namanya trauma itu 'kan berasal dari kejadian yang tanpa sadar membentuk suatu ketakutan. Nggak cuma dalam skala besar seperti yang kamu alami, skala kecil pun itu bisa dianggap trauma.”

Fatya kemudian mendekat, menyentuh kepala Thalia untuk diusap-usapnya lembut.
“Kalau kamu mau, kamu akan temuin jawabannya di sana. Papa meminta kamu pulang akhir pekan ini agar tau dulu seperti apa program penyembuhannya. Dari situ kamu bisa merasakan sendiri cocok atau enggaknya, jadi kamu bisa kasih keputusan nanti.”

“Tapi, Ma ... biayanya pasti mahal, kan? Lia nggak mau Mama sama Papa ngeluarin banyak uang lagi cuma buat ngobatin Lia kayak dulu. Kemarin aja Lia udah ngabisin banyak buat rawat inap, terus, Mama sama Papa juga masih biayain kuliah Lia.”

Thalia mendesah gusar, menggeleng pelan, menatap nanar mamanya. “Lia nggak mau ngerepotin lagi. Lia nggak mau bikin Mama sama Papa ngeluarin banyak uang lagi. Lia—“

“Sayang, dengerin Mama.” Fatya merengkuh wajah putrinya. “Orangtua manapun, nggak akan mau melihat anak mereka menderita oleh penyakitnya. Selama mereka sanggup, apapun akan mereka lakukan demi menyembuhkan sang anak. Begitu juga dengan Papa dan Mama. Karena kami masih sanggup, berapapun biayanya, asalkan kamu sembuh, kami akan lakukan semuanya, Lia.”

Thalia tertunduk. Sebesar itu kasih sayang kedua orangtuanya untuk dirinya. Di sisi lain pun Thalia ingin sepenuhnya sembuh dari trauma ini. Bukan hanya untuk sementara. Karena Thalia ingin benar-benar hidup tanpa bayang-bayang menakutkan seorang Julian.

“Ya udah. Lia mau pulang sama Mama.” Thalia akhirnya bersuara setelah cukup lama merenung. Menemukan mamanya yang setia menunggu kini mengembangkan senyum lega untuknya. “Tapi Lia cuma bisa pulang sampai akhir pekan ya, Ma. Lia nggak mau ninggalin kuliah soalnya.”

“Iya, Sayang, iya. Nanti Papa bakalan atur jadwal temu kamu sama temannya, secepatnya.” Fatya kemudian mengecup kening Thalia. Menyalurkan rasa sayangnya sebelum beralih mengambil ponselnya untuk menghubungi Handri.

Thalia tersenyum melihatnya. Jika memang ini yang terbaik, dia akan melakukannya. Apalagi ada kedua orangtuanya yang mendukung penuh.

Dan mungkin, Thalia akan mengabari soal ini pada Atha nanti.

S P L E N D I DWhere stories live. Discover now