[22] Can't Control This Feeling

22.9K 1.8K 200
                                    

“For some reason, everything became numb. It's better if I let go first...”

 

ROSA berusaha menarik sudut bibirnya, membentuk ulasan bermakna setelah berhasil menyuarakan apa yang menyarang di dalam benaknya sejak pertama kali bertemu kembali dengan lelaki yang kini sudah membeku di hadapannya.

“Dua tahun lebih, nggak nyangka bakalan ketemu lagi di sini. Dan melihat kamu udah tumbuh dewasa kayak gini.” Rosa sedikit tersendat kala mengatakannya. “Dengar cerita soal kamu, kamu memang udah banyak berubah. Senang rasanya dengar kamu udah mahir menyalurkan bakat kamu seperti sekarang. Sepertinya kemampuan bermain piano kamu berkembang pesat sekali, ya.”

Seolah menggerakkan tangannya begitu berat untuk sekadar melepas cekalan Rosa dari lengannya, Atha nyaris menggertakkan giginya. Terlalu banyak kalimat yang ingin dia lontarkan teruntuk perempuan yang sudah berani membuka kembali masa lalu yang sudah tenggelam dalam ... yang mati-matian dia lupakan.

Atha memalingkan wajah. Bermaksud pergi tanpa perlu membalas ucapan Rosa. Tetapi satu langkah pun tak sempat dia lakukan ketika perempuan itu kembali menahannya.

“Kakak minta maaf.”

Kembali menyentak batin terdalamnya, seperti mendorong secara paksa perasaan yang sudah menghilang untuk kembali muncul. Perempuan yang dulu menyita seluruh perhatiannya, sumber dorongannya untuk bisa menjadi seperti sekarang—sekaligus penghancur angan-angan kekanakannya—kini kembali.

“Kakak minta maaf karena pergi tanpa pamit sama kamu dulu. Kakak nggak bermaksud buat menghindar. Hanya—“

“Nggak perlu.”

Atha menyambar cepat. Tubuh menjulangnya kembali menghadapi Rosa, membuat perempuan itu semakin mendongakkan kepala demi menatapnya. Jika dulu Rosa hanya sebatas alisnya, perempuan itu kini tenggelam sebatas lehernya.

“Saya ngerti alasan Kakak pergi. Bilang atau enggaknya sama saya, itu bukan hal penting karena saya cuma bocah ingusan kayak yang lain di mata Kakak saat itu. Saya cukup tau diri.”

“Megan, Kakak nggak pernah—“

“Lagipula itu udah basi kayaknya. Buat apa diungkit lagi?” Atha menyeringai hambar. “Saya udah punya jalan hidup sendiri, begitu juga dengan Kakak. Akan lebih baik kalau saya dan Kakak jalanin hidup masing-masing tanpa perlu mengungkit yang udah lewat.”

Mata Rosa bergetar, bergeming pada rupa wajah Atha yang menguarkan ketegasan telak untuknya.

“Dan jangan panggil saya Megan. Bukannya Pak Fahri udah pernah ngasih tau Kakak, kalau saya benci dipanggil dengan nama itu?”

Atha segera berbalik, membuka langkah selebar mungkin meninggalkan Rosa yang mengantarnya dengan pandangan nanar. Tanpa perlu menoleh ke belakang, Atha membiarkan hubungan yang sempat mengambang ke permukaan, sekali lagi tengggelam, seiring dengan dirinya melajukan motornya pergi dari rumah.

Rosa membeku di atas kakinya. Satu tangannya yang sempat berhenti di udara, kini menangkup di depan dada, meremas pakaiannya demi menekan rasa tertohok yang ada. Bayangan di mana dirinya pernah tertawa bersama lelaki itu seperti tamparan akan perbuatannya yang sudah tega menghancurkan kehangatan lelaki itu.

Lelaki itu memang banyak berubah. Tidak hanya perawakannya semakin dewasa, namun juga tatapan dingin yang dulu tidak pernah dilihatnya kini seolah menggantikan senyum tulus yang pernah seorang Megan Atharizz miliki.

Dan di balik dinding yang membatasi ruang, Thalia berdiri kaku di sana, dengan nampan memenuhi kedua tangan, berusaha untuk tidak menumpahkan isinya setelah tak sengaja menyaksikan hal yang tak pernah melintas di pikirannya.

S P L E N D I DTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon