[23] Hunch

21.6K 1.6K 149
                                    

SOSOKNYA berdiri di sana, dengan kedua tangan bersembunyi di balik saku celana, bersama gelapnya ruang tak berujung. Lalu perlahan namun pasti, dia mendekat, memangkas jarak yang ada, membelah kegelapan menuju tempatnya berdiri kini. Tak bisa bergerak sama sekali di bawah sorot cahaya satu-satunya yang ada.

“Thalia...”

Suara beratnya mengalun lembut namun mengancam secara bersamaan. Seiring dengan sosoknya yang semakin dekat. Memasuki bias cahaya putih yang menyebar tak jauh. Lalu berhenti tepat sebelum wajahnya ikut tersorot.

“Thalia...”

Dia memanggil sekali lagi. Membuka langkah sekali lagi, dan bibir yang terlihat itu perlahan melengkung, menyeringai layaknya teror yang siap menerkam.

“Kita ketemu lagi.”

...

Thalia membeliak terperanjat. Tarikan napas pertamanya terlalu keras sampai dadanya berdenyut sakit. Tubuhnya langsung bangkit terduduk bersama kedua tangan merenggut bagian leher pakaiannya. Memburu udara sebanyak mungkin, mengisi rongga paru-parunya yang terasa kedap dan sesak. Manik matanya pun mulai bergetar.

Mimpi barusan berputar hebat di dalam kepalanya. Lagi-lagi mengingatkan sosok itu, seakan-akan mulai menakutinya lagi.
Terlalu sepele untuk disebut kebetulan. Ini sudah ketiga kalinya Thalia memimpikan hal semacam ini. Tapi kenapa?

Thalia perlahan turun dari tempat tidur, berpindah ke meja belajarnya kemudian membuka salah satu laci. Ia termangu setelahnya, meneguk saliva sebelum tangannya yang masih gemetaran mengambil sebuah botol hingga menghasilkan bunyi dari isinya.

Mungkinkah mimpi itu terjadi karena Thalia kembali membutuhkan ini?

Buru-buru Thalia mengembalikan barang tersebut ke semula, kala mendengar ketukan dari pintu kamarnya. Thalia segera memutar kunci, membuka pintunya lalu menemukan Atha sudah berbalut seragam sekolah dan menatap dirinya.

“Udah jam enam lewat. Malah belum siap-siap. Telat ke kampus lo ntar.”

“Oh, iya...,” hanya itu. Thalia lebih menekuri kehangatan yang sedikit menyusup ke benaknya. Kebetulan sekali Atha melakukan ini padanya, mengetuk pintu kamarnya dan mencoba membangunkannya. Membiarkan penciumannya mengumpulkan aroma prafum yang menguar dari kesegaran seorang Atha di pagi hari ini.

Jentikan jari Atha menyadarkan Thalia. Membawanya untuk menatap lelaki itu lagi dan menemukan kernyitan samar di sana.

“Jangan bengong. Melek makanya. Atau perlu gue cipratin air dulu?”

Seketika bibir Thalia merengut. “Aku udah sadar, kok. Udah, sana!” usirnya yang segera diberi dengusan samar lelaki itu.

“Buruan. Kalo enggak, gue tinggal berangkat duluan ntar.” Atha mengetuk kening Thalia dengan telunjuknya, barulah ia berbalik pergi ke ruang makan. Membiarkan Thalia menggerutu di belakang.

Namun entah mengapa, begini saja sudah cukup menenangkan batin Thalia. Detakan jantungnya yang sempat kacau, berangsur mereda hingga tubuhnya merileks. Thalia sendiri tidak mengerti, hanya dengan melihat Atha berdiri di hadapannya, berbicara seperti biasanya, mampu menyembuhkan kekalutan hatinya akan ketakutan semu.

Dan batinnya kembali lancang berkata, Aku akan baik-baik aja. Ada Atha di sini.”

****

Pagi hari di awal pekan ini, rutinitas terjadi seperti biasa. Hanya keberadaan Fahri yang menghilang mengingat pamannya itu sedang berada di Jakarta.

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang