[51] Hiding Behind Words

16.7K 1.6K 251
                                    

“I just want to hug you ... so much right now.”

HARI ini merupakan waktu keberangkatan Fatya bersama Thalia ke Jakarta. Mengambil jadwal Taksaka malam dari Stasiun Yogyakarta atau juga dikenal sebagai Stasiun Tugu. Menjelang akhir pekan begini, tempat ini mulai terbilang ramai dibandingkan hari biasa.

Bersama Fatya, Fahri keluar dari mini market dengan beberapa bingkisan di tangan. Selesai mencetak tiket, keduanya sengaja mampir untuk membeli beberapa camilan sebelum kembali pada Thalia yang menunggu di sebuah kafe di dalam stasiun.

Kakak-beradik itu tampak berbincang ringan dengan Fatya menggandeng lengan Fahri, menunjukkan betapa wanita itu akan merindukan adiknya karena akan berpisah lagi.

“Oh ya, Ri, Mbak sudah mau pulang, kamu kok belum juga kenalin gandengan kamu itu?”

Perubahan topik tiba-tiba dari Fatya berhasil menghentikan langkah Fahri. Menatap tertegun Fatya yang tampak mengulum bibirnya.

“Gimana dia? Katanya kamu sudah sampai berkenalan sama orangtuanya? Kamu sendiri nggak ada niatan buat ngenalin ke Mbak sama yang lain? Lia bilang orangnya cantik dan perhatian banget. Lia udah suka sama dia malahan.”

“Aah, itu...,” Fahri menundukkan kepala. Menyembunyikan mimiknya yang berubah.

“Kenapa, Ri? Jangan bilang, orangtuanya nggak setuju kalau dia sama kamu?”

“Bukan, Mbak. Orangtuanya malah terbuka sekali sama Fahri. Mereka juga ada keinginan untuk ketemu sama keluarga Fahri kalau sempat.” Fahri mencoba tersenyum. Melanjutkan langkahnya yang otomatis diikuti Fatya. “Tapi sepertinya nggak bisa dalam waktu dekat ini. Belakangan Fahri dan dia memang sedang terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Jadi, Fahri belum ada rencana pasti buat ngenalin dia ke Mbak sama yang lain.”

“Yah, Mbak ngerti. Mbak pun kemari juga bukan karena rencana. Jadi mungkin memang lain kali.” Fatya bergumam. “Kalau begitu kamu sudah merasa cocok dengan dia?”

Tidak ada jawaban langsung dari Fahri. Fatya sampai menoleh setelah beberapa detik berlalu, mengernyit mendapati adiknya ternyata melamun di sela-sela langkah mereka.

“Ri, kok melamun?” Fatya mendengkus pelan melihat Fahri mengerjap bingung padanya. “Dengar, nggak, pertanyaan Mbak tadi?”

“Ah ... ya,” Fahri membasahi bibir, menatap ke depan untuk menarik napas. “Untuk saat ini, Fahri dan dia masih menjalani yang ada terlebih dulu, Mbak.”

“Yah, kalau memang kamu masih nyaman begitu, Mbak nggak masalah. Kamu yang menjalankan, kamu sendiri yang tau. Asalkan kamu tetap menjalin hubungan yang sehat dengannya, Mbak dengan yang lain bisa menunggu sampai kamu benar-benar yakin, Ri.”

Fahri memaksakan bibirnya menyungging. Mengakhiri topik ini dengan menuntun Fatya agar berjalan lebih dulu sebab kondisi ruang yang cukup sesak. Menyisakan dirinya yang kembali tenggelam pada pikirannya sendiri.

Tenggelam pada keraguan yang mengembang di dalam benaknya. Sejak ia mengetahui bahwa Rosalina mengenal Megan dan ternyata masih memerhatikan murid kesayangannya itu.

****

Bising dan lalu lalang yang menghiasi sepanjang latar stasiun ini tidaklah asing bagi Thalia. Menjadi objek perhatiannya demi membunuh kesendirian setelah ditinggal Fatya dan Fahri di kafe ini, ditemani segelas cokelat hangat di tangan.

Kalau dibilang menunggu kedatangannya pun, tidak juga. Thalia tahu bahwa lelaki itu pasti sibuk dengan kegiatannya seperti biasa. Memang, terakhir mereka bertemu hanya di pagi hari tadi sebelum lelaki itu berangkat ke sekolah. Tanpa adanya pamitan secara khusus.

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang