[15] Paper Hearts

23.6K 1.8K 202
                                    

I hate this part paper hearts

   
“AW!!”

Seruan kencang itu menarik perhatian Fahri yang tengah berkutat dengan semangkuk tepung di konter lain. Matanya membulat kaget melihat Thalia sudah membuat jarak dari kompor gas yang menyulut wajan penggorengan yang berdesis nyaring, tampak meringis kesakitan.

“Om, ayamnya loncat-loncat. Panas.” Thalia merengek begitu Fahri menghampirinya, menunjuk penggorengan berisi beberapa potong ayam yang tengah digoreng. Lalu meniup-niupkan tangan kanannya yang sepertinya terciprat minyak panas dari sana.

“Ya udah, biar Om yang beresin ini. Kamu aduk-adukin adonan bakwan aja, sana. Itu tangannya disiram dulu biar nggak perih.” Fahri pun mengambil alih, dengan capitan di tangan kanan lalu tutup penggorengan di tangan kiri sebagai perisai, membolak-balikkan ayam goreng untuk lauk makan siang mereka.

Sudah ada lebih dari setengah jam mereka berkutat di dapur. Dimulai mencuci lalu memotong ayam menjadi beberapa, meracik sambal, lalu membuat bakwan sebagai pelengkap. Bisa dilihat kondisi dapur saat ini sudah berantakan.

Thalia meringis melihat punggung telunjuknya sedikit melepuh akibat cipratan minyak panas. Untuk kali ini, dia mengakui betul-betul bahwa memasak sendiri itu sulit sekali. Selama ini dia sebatas membantu Mama Fatya seadanya jika beliau memasak di dapur. Jangankan menggoreng ayam, menggoreng tempe saja dia masih takut-takut.

Kini ia hanya bisa membuat adonan untuk membuat bakwan. Mencampurkannya dengan air sedikit demi sedikit sembari mengaduknya teratur kala matanya tidak sengaja bergeser ke arah lain. Menemukan buku catatan itu terbuka, menampakkan resep yang tengah ia buat saat ini.

Pada nyatanya, dia memang membutuhkan catatan itu. Tetapi Thalia terlalu gengsi untuk sebatas membacanya. Padahal Atha sudah repot-repot membuatkan itu agar ia bisa membuat makanan sendiri selama lelaki itu pergi.

Dia malah mengharapkan lelaki itu cepat-cepat kembali saja agar ia tidak kelimpungan di dapur seperti sekarang ini.

Thalia menggeleng keras tiba-tiba. Tidak. Dia tidak membutuhkan Atha. Dia perempuan. Dia bisa memasak, bahkan lebih dari Atha!

Cuka justru lebih ampuh dari air. Lo nggak tau itu?”

Gerakan tangan Thalia terhenti. Pandangannya mendadak jatuh pada luka melepuh di tangannya.

“Kalo lo pake cuka, lo cuma butuh waktu sebentar buat nyembuhin luka sama rasa sakitnya.”

Ucapan Atha di kala itu kembali terngiang di dalam kepala. Seperti sedang mengingatkan Thalia untuk bertindak sama seperti yang pernah lelaki itu lakukan padanya. Thalia membuka laci meja bar dan menemukan sebotol cuka beserta kotak obat lalu mengeluarkan sebutir kapas. Mengolesi permukaan lukanya dengan cara sama seperti yang pernah Atha lakukan padanya.

“Jadi cewek tuh kudu bisa masak biar nanti kalo udah berumah tangga, suami sama anaknya nggak kelaperan.”

Thalia menggigit bibir bawah keras. Suara lelaki itu kembali membayanginya. Seolah mendobrak pertahanannya untuk menyerah saja melakukan ini semua.

Padahal, ini baru hari pertama Atha tidak ada di sini.

****

Menghadapi malam minggu seperti biasanya merupakan rutinitas bagi Thalia. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah yang ada, juga menyelesaikan tugas kuliahnya yang memang sudah setengah tuntas, kini Thalia hanya berdiam diri di ruang tengah, menikmati kebosanan di depan televisi yang menyala.

S P L E N D I DWhere stories live. Discover now