[33] A Shoulder To Cry On

21.8K 1.7K 184
                                    

“Feelings are unpredictable. They flows like water which can stuck or just passes by.”

   

SATU gelas kemasan datang tepat di depan wajah Thalia. Membuyarkan lamunannya untuk segera menerimanya disertai ulasan senyum untuk Pevita. Gadis berkacamata itu melompati kursi panjang yang diduduki Thalia untuk kemudian menyusul di sebelahnya.

Thalia menyelipkan rambut pendeknya yang berterbangan sebelum membuka tutup gelas berisi coffee latte pemberian Pevita. Hari ini cuaca cukup berangin meski agak terik. Merupakan ajakan dari Pevita untuk singgah di foodcourt kampus setelah menyelesaikan mata kuliah pertama hari ini.

“Jadi, apa yang lagi ganggu pikiran lo belakangan ini?”

Thalia menengok Pevita setelah meneguk sedikit minumannya. Inilah alasan mengapa Pevita mengajaknya kemari bahkan duduk tepat di sebelahnya kini. Temannya itu ternyata lebih peka dari yang Thalia kira. Sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin Pevita selalu menegurnya karena sering mendapati dirinya kebanyakan melamun.

“Lo punya hak buat cerita atau enggak, tapi serius dah, gue kepo berat kenapa beberapa hari ini lo lesu banget kayak nggak pernah disuapin makan di rumah. Sebagai orang yang sering nempel sama lo, yakali gue diem aja ngeliat lo nggak kayak biasanya begini?”

Pevita menyeruput iced cappuccino-nya setelah itu. Lalu menoleh pada Thalia yang kembali termenung.

“Lagi ada masalah di rumah, Tha? Atau, lo capek kuliah?”

Thalia menarik napas dalam seraya menggeleng. Dia kembali menoleh, menemukan manik yang memancarkan sinar penasaran milik Pevita. Lalu menghela napas lagi.

“Aku—“ Thalia sebenarnya ragu untuk mengatakan. Wajarkah dia mengatakan hal yang menyangkut soal hati dan perasaan pada Pevita?

Thalia membasahi bibirnya. Kembali menundukkan pandangan, sebelum suara kecilnya mengalun. “Aneh nggak sih, kalau aku begini karena seseorang?”

“Hah?” Pevita sebenarnya mendengar, hanya itu terlontar begitu saja. “Maksud lo ... cowok? Lo lagi suka sama cowok?!”

“Aneh, ya?”

Buru-buru Pevita menggeser tubuhnya semakin dekat dengan Thalia. “Siapa? Anak kampus sini? Atau, Daniel?”

“Dia bukan anak sini, Pev.”

“Lah?” ada kerjapan kaget di mata Pevita. “Kok bukan Daniel? Terus siapa?”

Thalia berencana menyingkirkan pertanyaan terakhir Pevita. Bibirnya tersungging lemah. “Aneh nggak, sih, kalau aku udah berani main perasaan di saat aku pernah ngerasain sakit akibat dari itu?”

Pevita diam. Tampak mengerutkan kening.

“Aku takut hal itu terulang, tapi aku malah ngerasain rasa yang sama dan nggak bisa berhenti. Aku takut dia cuma mau nyakitin aku, tapi aku nggak bisa mencegah buat nggak terlalu jatuh.”

“Kenapa lo bisa mikir begitu?”

“Aku pernah dikhianatin, Pev.” Thalia tersenyum getir. “Bohong kalau aku belum pernah suka sama lawan jenis. Aku pernah mengagumi dan mungkin itu yang namanya jatuh cinta sama seseorang. Dia nerima perasaan aku, tapi ternyata semua itu buat ngejebak aku. Dia cuma jadiin aku mainan taruhan.”

Pevita tak mampu mengatup mulutnya. Merupakan kali pertama dirinya mendengar Thalia menceritakan soal masa lalunya, apalagi melihat mata jernih Thalia mulai memerah. Pevita seolah ikut merasakan betapa menyakitkannya pengalaman yang dialami Thalia.

S P L E N D I DWhere stories live. Discover now