[7] Orientation

29.7K 2.2K 168
                                    

THALIA berada dalam masa orientasi di kampusnya. Jika sebulan sebelumnya dia sudah mulai disibukkan dengan tugas-tugas pembuka dari kampus yang menumpuk, orientasi yang lebih dikenal sebagai Pelatihan Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (PPSMB) di kampusnya bisa dikatakan lebih menyenangkan. Dan tentunya di luar perkiraan Thalia.

Banyak calon mahasiswa baru yang akan berpikir bahwa masa orientasi yang dikenal dengan Ospek itu identik dengan kegiatan melelahkan, memakai atribut super aneh, hingga menghadapi kakak pendamping yang super galak. Untungnya, di kampus Thalia semua itu hampir tidak ada. Sejak upacara pembukaan, Thalia lebih banyak dibuat takjub oleh berbagai atraksi yang disuguhkan kampus, pengenalan UKM, hingga melakukan permainan edukasi yang diadakan oleh kakak pembimbing semacam debat maupun kuis.

Di waktu istirahat pun, kampus sudah menyediakan makan siang untuk setiap MABA. Thalia yang awalnya sudah membawa bekal karena takut kelaparan, kini dia tidak perlu khawatir karena pasti akan dibagikan satu kotak makan siang.

Memasuki hari ketiga, Thalia yang sebelumnya berkelompok dengan mahasiswa dari berbagai fakultas kini bertemu dengan wajah-wajah baru di kelompok yang baru pula. Mengingat hari ini sudah masuk orientasi khusus fakultas, setidaknya dia akan bertemu dengan calon teman sedepartemen nantinya.

“Sebelah lo kosong, nggak?”

Thalia yang sedari tadi merenung kini menoleh cepat, mendapati seorang gadis berkacamata dengan rambut panjang bergelombangnya tengah menyungging senyum padanya.

“Oh, iya, kosong. Duduk aja.” Thalia mengambil ranselnya yang mengisi ruang di sebelahnya, membiarkan gadis itu duduk setelah mengucapkan terima kasih padanya.

Sebelum kegiatan dimulai, akan ada sambutan dari Dekan Fakultas Ilmu Budaya di salah satu sisi lapangan yang sudah disulap menjadi panggung kecil dengan tenda yang memayungi. Itulah mengapa Thalia sudah bergabung dengan lainnya di ruangan ini, duduk bersila di bagian sudut dan melamun seorang diri.

“Lo dari departemen mana?”

Thalia menoleh pada gadis itu lagi. “Sastra Inggris. Kamu?”

OMG, me too!” gadis itu tampak sumringah kemudian mengulurkan sebelah tangannya yang disambut Thalia dengan canggung. “Gue Pevita!”

“Thalia.”

“Ngomong-ngomong, lo lulusan mana? Gue dari Stella Duce 2. Nggak jauh dari sini.”

“Aku dari SMA Negeri di Jakarta.”

“Wih, anak Jakarta rupanya? Tapi kok kayaknya cara ngomong lo halus bener?”

Thalia terkekeh hambar. Tahu benar maksud dari sindiran Pevita. “Emang aneh, ya?”

“Emang aneh. Gue mah udah biasa ketemu yang kayak lo dari daerah sini. Tapi kalo dari Jakarta kayaknya nyaris nggak pernah deh sejauh ini. Lo unik juga,” jelas Pevita diiringi cengirannya yang menawan.

Dalam hati Thalia mendesah lega. Sejak dirinya masuk ke kampus ini, beberapa orang yang berkenalan dengannya juga sempat menyinggung hal demikian. Meski banyak yang tidak memusingkan hal itu setelahnya, ada juga yang malah menganggap Thalia sok sopan. Bahkan ada dari fakultas lain yang menganggap Thalia hanya mencari perhatian dengan kakak pendamping.

Tidak ada hubungannya padahal. Bukankah semua mahasiswa baru dianjurkan berbicara sekaligus bersikap sopan dengan para kakak panitia?

Namun sepertinya Pevita memiliki pikiran terbuka meski terkesan terlalu jujur. Untuk kali pertama, Thalia merasa dia sudah menemukan satu teman baru di kampus ini.

“Dari tadi gue udah ngendus desas-desus dari anak-anak kalo kakak pembimbing di fakultas kita ini cakep-cakep. Gue malah dari awal nggak pernah merhatiin kakak-kakak pembimbing kita secakep apa,” ucap Pevita ketika matanya menangkap beberapa panitia yang disebut-sebut akan menjadi kakak pembimbing mulai masuk.

S P L E N D I DWhere stories live. Discover now