[17] Never Like This Before

22.6K 1.8K 178
                                    

TANPA merasa curiga, Fahri memperkenalkan keduanya bergantian. Raut wajahnya yang semringah sudah menutupi suasana yang sebenarnya mulai terasa tegang di antara mereka. Rosa yang tak kuasa mengatup mulut, sedangkan Atha yang sudah mengeraskan rahang, keduanya saling melempar pandangan tidak menduga.

Tapi untungnya Atha lebih cepat mengontrol diri. Dia putuskan kontak mata mereka dengan memberikan anggukan singkat tanda menyambut perempuan itu. Menyadarkan Rosa untuk ikut mengendalikan diri dan segera memamerkan senyum manis.

“Aah, jadi ini murid yang Mas ceritakan itu.” Rosa mengulurkan tangan pada Atha, “Salam kenal, Atha. Saya mendengar cukup banyak soal kamu dari Pak Fahri.”

Ada reaksi tak biasa di dalam diri Atha. Niatan untuk segera pergi saja melintas di kepalanya, tetapi Atha masih sadar akan tata krama hingga ia terpaksa menyambut tangan Rosa.

“Salam kenal.” Hanya itu yang Atha ucapkan, cepat-cepat melepas jabatan tangan mereka, menarik mundur tubuhnya seraya mengatur napas. “Biar saya buatkan minum dulu.”

Fahri tentu memersilahkan. Lalu Atha melangkah lebar-lebar, menyembunyikan dirinya secepat mungkin dari mata Rosa yang terus mengawasinya sebelum terputus bersamaan dengan suara Fahri yang mengajaknya duduk di ruang tengah.

Atha terdiam cukup lama di konter dapur. Kepalanya mendadak penuh dengan memori yang sudah lama terpendam bahkan sudah ia lupakan, kembali timbul dan berputar acak-acakan seolah tengah mengejeknya. Kedua tangannya mengepal kuat mencoba melawan gejolak yang menerjang.

Seolah kembali mengingatkan tujuannya untuk bisa berada di sini, yang sudah pupus karena merasa itu hal terkonyol yang pernah dia lakukan semasa hidupnya, dan menerima hasil kosong akan keputusannya yang sudah terlanjur dengan melupakan semuanya.

Namun tiba-tiba, hari yang sudah dia anggap tidak akan pernah ada itu datang. Seperti sambaran petir di siang bolong, mengejutkannya dengan jalan yang tak pernah terbayangkan olehnya selama ini.

Atha meraup wajahnya dengan kasar. Masih dengan kecamuk menyarang di dalam kepala, Atha meraih dua cangkir bersih dan mulai membuat minuman. Dia mendengar suara Thalia sedang berbincang penuh ceria dengan Rosa, ada juga suara Fahri yang menimpali, lalu ada tawa di antara mereka.

Bibir Atha tertarik membentuk seringai miris.

“Oh, kamu udah bikin minumannya?”

Suara Thalia tiba-tiba terdengar, menyadarkan Atha bahwa dirinya sudah terlalu lama mengaduk-aduk minuman buatannya. Gadis itu mendekat yang segera Atha manfaatkan untuk melepas andil.

“Lo aja yang bawa ke sana.” Mengatakannya sambil lalu, meninggalkan Thalia yang sempat termangu sebelum mengikuti ucapannya tanpa rasa curiga.

Sedangkan ia sendiri memilih untuk masuk ke dalam kamar, kembali melarikan diri dan bersembunyi dari pandangan yang pernah meluluhlantakkan perasaannya.

****

Setelah memakan waktu yang cukup lama, Atha akhirnya keluar dari kamar. Dengan balutan jaket denim biru pudar yang membungkus kaus putihnya, kaki-kaki panjangnya melangkah cepat menghampiri mereka. Obrolan diiringi tawa hangat itu seketika berhenti ketika wujudnya muncul, menyambutnya dengan berbagai macam tatapan dan Fahri lah yang bersuara terlebih dulu.

“Loh, kamu mau ke mana, Megan?”

“Saya udah ada janji sama Gilang, Pak. Mau manjat.” Atha mendekati Fahri, menyalami pria itu seraya berkata. “Maaf, saya pergi dulu.”

“Hati-hati, ya. Jangan kemaleman pulangnya.” Fahri menyahut diiringi senyum kecil.

Pandangan Atha tiba-tiba jatuh pada Rosa yang memang sedang memandangnya. Atha sebatas mengangguk sebagai bentuk pamitnya untuk Rosa yang juga mencoba untuk tersenyum. Tanpa disadari langkahnya berubah kaku kala keluar dari sana.

S P L E N D I DWhere stories live. Discover now