[42] Walk To You

19.6K 1.9K 457
                                    

Ready to do the challenge?

Seperti yang pernah kubilang sebelumnya

I dare you to comment in lines along this chapter

biarkan aku tau seberapa kagumnya kamu mengenai tiap momen di sini~

“I want to be the only hand you ever need to hold.

😶😶😶

ATHA meletakkan lilin di atas lantai lalu menyusul duduk di sana. Tepat di depan Thalia yang sudah kembali tenang, duduk memeluk lutut di balik selimutnya di atas tempat tidur, dengan satu tangan memegangi ponsel Atha yang masih menyalakan senternya.

Entah mengapa, itu sudah cukup bagi Thalia selama lelaki itu pergi ke dapur beberapa saat lalu.

“Minum dulu, nih. Biar hangat.”

Sontak saja Thalia menyorotkan senternya pada cangkir yang memang ikut dibawa Atha. Sebenarnya ia sudah mencium aroma cokelat ketika lelaki itu masuk kemari. Kini Atha mengambil alih ponselnya agar Thalia dapat menerima cokelat hangat buatannya.

Di tengah cahaya minim ini, Atha masih dapat melihat rona wajah Thalia berangsur membaik. Dan mulai menunjukkan semburat stabilnya setelah menyeruput sedikit minumannya. Masih diingat betapa pucatnya Thalia di kali pertama Atha menemukan gadis itu sudah terduduk di lantai ini.

“Aku dengar suara kamu jatuh tadi.” Atha mengambil ponsel Thalia yang memang sedari tadi dikantunginya, meletakkannya di sebelah Thalia. “HP kamu juga jatuh. Untung nggak rusak.” Lalu Atha menyamankan duduknya yang bersila, mendongak lagi pada Thalia. “Tapi kamu nggak setahan banting HP. Jadi pasti sakit. Di mana sakitnya?”

“Nggak ada yang luka kok,” tetapi Thalia tetap menjulurkan tangan kirinya. Ada nyeri di siku hingga pergelangan. Mungkin karena bagian itu yang lebih banyak menahan berat tubuhnya kala jatuh berdebam tadi. “Cuma ngilu sedikit, tapi nggak apa-apa. Nggak ada bekasnya.”

Atha meraihnya, hanya untuk dia lihat dengan bantuan senter sebelum mengangguk percaya. Namun tidak lagi dia lepaskan hanya untuk digenggam seraya mengusap-usap punggung tangannya.

Atha hanya ingin Thalianya semakin merasa aman bersamanya.

“Kenapa di sini sering mati lampu?”

Suara pelan Thalia kembali memecah keheningan yang ada. Gadis itu menurunkan cangkir di tangannya dan Atha meraihnya lebih dulu untuk diletakkan di dekat lilin. Sementara lelaki itu menggumam pelan, Thalia diam-diam tersenyum akan perlakuan kecil lelaki itu saat ini.

“Ada yang bilang, karena pembangkit listrik di sini rutin lakuin pemeliharaan juga perbaikan tiap dua minggu sekali. Jadi itu berdampak sama adanya pemadaman listrik bergilir. Nggak kayak di Jakarta yang mungkin jarang lakuin itu atau mungkin memang udah punya alternatif lain supaya nggak ada yang namanya pemadaman bergilir.”

Mendengar Atha layaknya sedang bercerita, semakin menenangkan batin Thalia. Satu tangannya yang kosong Thalia sembunyikan kembali ke balik selimut.

“Ada juga yang bilang, karena pembangkit utama di sini masih tergantung sama rayon Jawa Tengah. Aku sendiri pernah cek kalo pusat pembangkit listrik Jogja memang belum ada. Tapi sekarang Jogja juga lagi dalam pengembangan pembangkit energi surya sama angin, 'kan?”

“Emang iya?”

“Padahal kampus kamu salah satu yang berpartisipasi meneliti soal pembangkit energi angin itu.” Atha mengulum senyum, meraih anak rambut Thalia untuk diselipkan ke balik telinga. “Tapi karena masih dalam proses pengembangan, mungkin belum sepenuhnya bisa digunain. Itulah kenapa tenaga air dan uap masih jadi andalan. Sedangkan pusat dua pembangkit tenaga itu belum ada di Jogja. Itu beda ya, sama perseronya yang memang ada di mana-mana.”

S P L E N D I DWhere stories live. Discover now