[19] A Fair Pt.2

21K 1.8K 144
                                    

JARAK antara Gelanggang Mahasiswa dengan Fakultas Ilmu Budaya bisa dikatakan dekat. Hanya membutuhkan waktu 5 menit jika berjalan kaki saja. Kendati demikian, Thalia merasa 5 menit itu cukup lama baginya. Meski selama perjalanan ia harus menahan diri agar tidak memaksa Pevita dan Daniel untuk cepat-cepat sampai. Padahal dialah orang yang tidak berminat datang.

Dan sejak memasuki area pameran, Thalia sudah menyapu pandangannya ke segala arah, dengan langkah mengikuti ke mana dua temannya pergi, ia menyibukkan diri mencari-cari sosok yang kabarnya ada di sini.

“Cari apa, Tha?”

Suara Daniel agaknya mengejutkan Thalia. Lelaki dengan bahu lebarnya itu ternyata sudah berdiri di sebelahnya, padahal sebelumnya ada Pevita di sampingnya. Temannya itu ternyata sudah melangkah lebih dulu karena stan EDS sudah terlihat.

“Bukan apa-apa, kok.” Thalia menggeleng kikuk.

Melihat itu, Daniel menarik sudut-sudut bibirnya. Thalia harus mengakui bahwa lelaki ini begitu murah senyum, apalagi mata sipitnya menjadi semakin kecil jika melakukan hal tersebut. Itu terlihat manis.

Mereka menyusul Pevita yang sudah memasuki stan EDS lebih dulu. Jika Daniel langsung menghampiri Alres yang memang sedang meladeni Pevita, Thalia berhenti di dekat pintu masuk dan membalas senyum Alres yang sempat mendapatinya.

Begitu mereka sibuk dengan urusannya, Thalia memilih mundur dan keluar dari stan. Rasa penasaran yang sempat tertunda kini menggerakkan langkahnya untuk menelisik sekitar. Sembari memeriksa ponselnya yang memang sedari tadi di tangan, terbersit keinginan untuk menghubungi lelaki yang sempat mengabarkannya berada di sini.

Tapi kalau dipikirkan lagi, untuk apa Atha memberi tahu bahwa dia ada di sini? Bahkan mengajaknya bertemu. Lagipula Atha tidak mungkin datang seorang diri. Sekalipun iya, orang seperti Atha bisa dikatakan lebih nyaman pergi sendiri.

“Thalia.”

Panggilan tak terduga itu menghentikan langkah Thalia. Lalu tertegun begitu menemukan sosok Keisha tengah menghampirinya. Oh, Thalia baru menyadari bahwa dia sedang melewati stan PSM.

“Kamu datang lagi rupanya. Kemarin aku lihat kamu lewat sini.”

“O-oh...,” Thalia melarikan pandangannya kala melihat Keisha tersenyum lembut padanya. “Aku cuma antarin teman aku. Sekalian lihat-lihat.”

“Kamu daftar ke mana, Tha?”

“Aku ... aku nggak daftar ke mana-mana.”

“Kamu nggak coba masuk padus? Aku bisa bantu kamu buat daftarin.”

Bibir Thalia tertarik hambar. Tawaran Keisha seperti pancingan baginya untuk mengingat kenangan yang sama. Menimbulkan sesak itu kembali mengisi benaknya.

“Aku nggak berminat masuk situ. Lagian aku ‘kan nggak bisa nyanyi.”

Keisha tahu arti di balik jawaban Thalia. Apalagi gadis berambut pendek itu selalu berusaha menghindari tatapannya. Seolah membiarkan Keisha untuk menatap sedih teman lamanya itu.

“Aku kira, kamu masih bisa nyanyi...” entah Thalia mendengar atau tidak karena suara Keisha melemah di tengah keramaian ini. Matanya mengerjap cepat demi melunturkan kesenduannya, mencoba tetap tersenyum pada Thalia. “Kamu kok sendirian? Teman kamu di mana?”

“Teman aku lagi di—“

Bertepatan dengan itu, Thalia tersentak kala ada yang menarik ransel di punggungnya. Sontak saja ia menoleh ke belakang, matanya mengerjap kaget ketika menemukan tubuh jangkung berbalut serba hitam itu sudah berdiri di belakangnya, lalu membeliak ketika menemukan wajah empunya sudah merunduk melihatnya.

S P L E N D I DWhere stories live. Discover now