Kim Seokjin

11.8K 884 23
                                    

Hidupnya dikelilingi kelimpahan harta. Ayahnya seorang direktur. Entah apakah sebuah pilihan tepat disaat Seokjin lebih memilih tinggal bersama ayahnya ketimbang ibunya yang telah berkeluarga sendiri. Meninggalkannya diumur 7 tahun.

Kim Seokjin tidak pernah kekurangan materi, sedari kecil hidupnya tercukupi. Ia dapatkan apa yang dia mau. Diumurnya yang menginjak 15 tahun, ia sudah punya mobil mewah walau belum cukup umur untuk mengendarainya, rumah megah, handphone termahal, ranjang paling nyaman, sekolah yang dipenuhi orang bermateri.

Ia mendapatkan apa yang dia mau.

Namun, ia tidak mendapatkan apa yang dia butuhkan.

Seokjin bukan termasuk orang yang sombong, bukan orang yang menghambur uangnya, bukan juga orang yang memilih teman atas dasar materi.

Seokjin adalah lelaki yang baik. Dia ramah. Dia ringan tangan. Dia menghambur uang demi orang yang membutuhkan, bukan demi dirinya sendiri.

Padahal ia bisa saja mendapatkan apa yang dia mau.

Namun tidak untuk yang dia butuhkan.

Bulan kemarin, umurnya telah menginjak ke 18 tahun. Lagi-lagi, dia hanya ditemani teman-teman sekolahnya, bibi dan paman yang membantu urusan rumah, dan anak-anak panti asuhan. Ayahnya, lagi-lagi tidak bisa hadir sekedar untuk menemaninya meniup lilin.

Memangnya itu penting? Meninggalkan pekerjaan demi melihat Seokjin memejamkan mata, membatinkan doa dan harapan, lalu meniup lilin?

Time is money, bae.

Ada kalanya seseorang merasa marah dan kecewa walau hal itu sepele—ah salah, dianggap sepele bagi orang lain, tidak baginya.

Prak!

"Tidak, abeoji, aku tidak mau."

"Seokjin. Ambil. Map. Itu. Sekarang. Tanda tangani itu!"

"Tidak."

"Kau adalah pewaris tunggal perusahaan abeoji!"

"Aku tidak mau!"

Brak!

Kedua bahu Seokjin sedikit terlonjak saat indera pendengarannya dipaksa mendengar bunyi gebrakan meja yang keras secara tiba-tiba. Ia menurunkan pandangan, takut melihat sorot mata ayahnya yang berkilat. Seokjin selalu getar melihat ayahnya marah.

Namun, untuk hari ini saja. Untuk kali ini saja. Seokjin bersikukuh pada apa yang ingin dia lakukan.

Dia sudah lelah terus diatur. Dia bukan lagi Seokjin kecil yang penurut, dan ayahnya harus tau seberapa batasannya untuk mengatur hidupnya.

"Joseonghamnida, abeoji." Seokjin membungkuk 90 derajat, lalu memberanikan diri menatap kedua manik hitam ayahnya. "Aku tidak bisa melakukannya."

Ayahnya mengangguk-angguk remeh. Tangannya menjulur dengan ekspresi datarnya. Detik berikutnya, ia mengatakan ancaman handalannya. Ancaman yang selalu ditujukan pada Seokjin saat anak lelaki semata wayangnya itu membantah.

"Serahkan dompet, kunci mobil, kunci rumah, semuanya. Cepat, serahkan. Abeoji yang membiayaimu, yang membesarkanmu tanpa kekurangan, selama itu berlaku, kau harus turuti abeoji."

Seokjin menyungging senyum. Senyum kepedihan saat mendengar kesekian kali ancaman itu. Seokjin itu darah dagingnya, bukan budaknya. Memang, seorang anak harus menuruti orangtuanya, tapi semua itu ada batasannya.

Dan Seokjin sudah mencapai batas akhir kesabarannya.

Gerakannya pelan, tapi cukup mengundang kerut dalam diwajah ayahnya. Seokjin mengeluarkan dompetnya, dan kunci mobilnya. Bahkan ia melepas jam tangannya yang dibelikan sang ayah dari New York. Ia berjalan mendekati meja besar ayahnya, meletakkan itu semua.

"Kunci rumahnya ada dikamarku. Terimakasih, abeoji, telah menghidupiku, dan telah bekerja untukku. Aku berhutang begitu banyak." Seokjin lagi-lagi membungkuk. "Abeoji, sekarang, bukankah aku juga tidak pantas tinggal disini? Aku membantahmu. Jadi, tidak pantas lagi bagiku untuk menikmati ini sedangkan abeoji bekerja. Aku... akan pergi. Aku akan hidup mandiri. Abeoji tidak perlu mengkhawatirkanku lagi. Terimakasih, atas segalanya."

Tap. Tap. Tap.

Blam.

Debuman pintu yang ditutup perlahan itu seketika meruntuhkan persendian ayahnya. Entah kenapa, rasanya ada yang memukul keras tepat dihati. Ia terduduk dikursi nyamannya, memandang kosong pada barang-barang yang diserahkan begitu saja oleh Seokjin. Tanpa sadar, air matanya menetes, tapi tak ada yang dapat dilakukannya lagi.

Kini, anak satu-satunya telah pergi.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hai hai haii! Ini FF keduaku setelah Road of Youth. Genrenya brothership lagi, dan... cast-nya kali ini BTS, 7 member. Semoga suka ya sama FF kedua, dan tentu saja, komentar kalian sama FF keduaku ini juga tetap dibutuhkan. Author masih proses belajar, hehe... Thankyou yang udah baca! Dont forget to VOMENT! See ya!^^

FATAMORGANAWhere stories live. Discover now