[1] Langkah Awal

6K 584 29
                                    

19 Mei 2010

Deburan ombak saling bersahutan, saling bergelung, menghempas daratan tanpa takut, kemudian kembali pada semula. Terus begitu, aktivitas ombak sehari-hari. Ditemani hembusan angin, dan langit yang setia berada jauh di seberangnya. Mereka seolah berteman, namun tak pernah sekalipun bersentuhan. Mustahil kah? Tidak. Bagi Tuhan, tidak ada yang mustahil. Semua kendali semesta ada pada-Nya.

Seperti jalan hidup seseorang. Kita diberi pilihan, dan berdoalah saat kau mengambil keputusanmu, agar nantinya tak ada penyesalan yang menyambut ujungnya.

Layaknya lelaki remaja yang tengah duduk menyendiri di atas batu karang. Ia bergeming, melihat aktivitas ombak, seolah membiarkan waktunya terbuang sia-sia. Ia sedang banyak pikiran. Ia dilanda rasa bimbang kala ada terbesit sesal atas keputusannya ini. Namun, rasa kecewa dan muaknya lebih banyak dari itu.

Ia menghela napas kesekian kali, sampai tiba-tiba ekor matanya melihat siluet seseorang memanjat batu karang, berdiri cukup jauh dari tempatnya duduk. Ia mengernyit, mengawasi gerak-gerik laki-laki asing itu yang hanya berdiri, bergeming menatap lautan sepertinya.

Aneh, karena setahunya, pantai ini tak dibuka secara umum. Tempatnya yang pelosok, membuat banyak orang tidak tahu keberadaannya--lebih tepatnya enggan berkunjung. Buat apa? Tidak ada yang menarik selain pasir putihnya dan air yang biru, keadaannya juga bersih.

Beberapa menit saling terdiam, lalu mereka jadi saling pandang. Lelaki yang lebih dulu berada di pantai itu melempar senyum, canggung, tapi tak ada respon dari sana.

"Annyeonghaseyo," ia menyapa agak keras, masih bernada sopan, dengan bungkukan ringan.

Lelaki yang berdiri itu tidak membalas sapaan dan malah turun dari batu karang. Ia menghampiri lelaki berbahu lebar yang menyapanya itu.

"Apa anda tau penginapan di sekitar sini?" tanyanya langsung, tanpa sapaan, tanpa basa-basi.

"Em... aku tidak tau,"

"Oh, yasudah," lelaki itu berbalik dan pergi.

Entah ada apa dengannya hari ini, lelaki yang tadinya duduk itu menyusulnya. Berlari kecil.

"Chakkamanyo!" seruannya berhasil membuat punggung itu berbalik lagi, menghadapnya. Demi apapun, kalau saja ia tidak dalam keadaan terdesak, mungkin ia akan memaki karena ekspresi datar orang itu.

"Wae irreseyo?"

"Joseonghamnida, tapi... bolehkah aku minta tolong? Ah, ini sedikit memalukan, tapi aku berjanji untuk sementara, maksudku... bolehkah, aku ikut denganmu?"

"Ne?"

"Ah, maafkan aku, aku benar-benar memalukan. Tapi, ah, bagaimana caraku menjelaskannya ya... aku... tidak punya uang, sekarang tidak ada karena habis kupakai untuk transportasi kemari. Aku hanya membawa ransel ini, isinya pakaian. Aku... aku sedang melarikan diri, tadi malam, dan sampai kemari tadi pagi, ya. Astaga, kenapa aku jadi menceritakanmu hal memalukan ini... Sungguh, ini hanya sementara... sampai aku mendapat pekerjaan dan melunasi hutangmu. Em... Oh ya, namaku Kim Seokjin, 18 tahun. Jadi... apakah aku boleh... minta bantuanmu, eo... hyeong-nim?" Seokjin menghembuskan napasnya, tanda menyelesaikan basa-basinya yang bertele, tapi anehnya, didengarkan oleh lelaki berkulit pucat itu.

"Ne, gwenchanayo... anda boleh saja ikut denganku."

"Wah, jinjjayo? Gamsahaeyo, aku janji, ini sementara." Seokjin langsung sumringah, kentara bahagianya saat menemukan lelaki tanpa ekspresi itu. Ia lalu mengekorinya seperti anak kecil.

FATAMORGANAWhere stories live. Discover now