Jung Hoseok

4.2K 640 18
                                    

Lelaki itu duduk tegak menghadap meja belajar. Di hadapannya hanyalah tumpukan buku dan alat tulis yang berhamburan. Jemari lentiknya menggenggam pulpen, menggoreskan angka demi angka dari soal yang berusaha dipecahkannya. Alisnya sesekali bertaut saat tak kunjung menemukan jawaban.

Hal penting yang mempengaruhi belajar adalah suasana sekitarnya. Beruntung sekali, semuanya memadai. Udara kamarnya dingin karena AC, tak ada suara apapun selain detik jam. Lampu menyala terang di mejanya, juga gemerlap cahaya jingga dari tumblr light yang menghiasi di atas ranjangnya. Oh, dan jangan lupakan lampu proyeksi yang seolah membuat kamarnya menjadi penuh bintang, dia selalu menyalakannya, memandangnya akan mengurangi rasa stress.

Memang, dekorasi kamarnya berlebihan, seperti kamar gadis.

Namun, Jung Hoseok punya alasan kuat mengapa kamarnya dihiasi berbagai lampu.

Naegaereul hwaljjak pyeogo

Sesangeul jayurobge nalkkeoya

Hoseok meletakkan pulpennya seraya menghela nafas. Ia menoleh ke kiri, menatap pintu kaca yang menghubungkan kamarnya dengan sang adik. Pasti, kebiasaan buruk adiknya saat sedang badmood adalah, menyalakan speaker keras-keras. Seharusnya, Hoseok mengerti. Namun, ia sendiri juga belum terbiasa jika harus belajar dalam keadaan berisik.

8 tahun bukan hal mudah untuk membiasakan diri.

Hoseok baru saja berdiri dari kursi, bermaksud mendatangi adiknya, tapi tiba-tiba listrik padam.

PATS.

Ia mematung. Tubuhnya sama sekali tak dapat digerakkan. Bola matanya liar mencari cahaya dalam kegelapan, terlebih lagi, ini sudah malam. Detak jantungnya lama-lama berpacu cepat, sampai ia sendiri mendengarnya bersahutan dengan detak jam. Nafasnya jadi memburu, keringat dingin menetes di pelipisnya.

"J...Jim..." Ia sekuat mungkin mencoba mengeluarkan suaranya, tapi yang keluar hanya sekedar bisikan. Hoseok mengepalkan tangan, pelan-pelan ia berjongkok.

"Tidak, aku tidak sendirian... tidak, tidak, aku tidak sendirian..." ia merapalkan kalimat itu berkali-kali, masih dengan bisikan.

"Tidak, jangan tinggalkan aku... jangan tinggalkan aku... seseorang... tolong..."

"Eomma... eomma...."

"Tolong jangan tinggalkan aku... jangan pergi! Kumohon! Eomma!" Ia mendadak berteriak histeris. Mengundang atensi adiknya yang entah kemana saja selama Hoseok bergumam.

Brak!

Drap drap drap.

Greb!

"Sstt... tenanglah, hyeong, aku disini... aku disini... jangan takut, ada aku, hyeong... Kau tidak sendirian..." suara adiknya mengalun lembut. Ia memeluk Hoseok dan menepuk punggungnya berulang kali. Ia terus mengatakan 'aku ada disini' padanya, mencoba membuat tenang kakaknya yang terisak.

"Hyeong, aku disini..."

Klik.

Adiknya menyalakan lampu senter yang dibawanya. Ia dapat melihat airmata yang mengalir di wajah Hoseok. Kakaknya itu pasti sangat ketakutan.

"Sst... jangan menangis, aku sudah disini..."

"Jangan tinggalkan aku, Jimin-ah... Jangan tinggalkan aku..."

"Arraseo, aku minta maaf, seharusnya aku datang lebih cepat,"

Bagaikan kakak beradik yang saling menyayangi, walau faktanya marga mereka berbeda, wajah mereka berbeda, DNA mereka berbeda. Keduanya bukan dari ibu yang berbeda, bukan pula dari ayah yang berbeda, tapi, kedua orangtua merekalah yang berbeda.

Mereka sama-sama memiliki kekurangan dalam hal psikis, tapi mencoba saling menguatkan. Seolah mengerti bagaimana rasanya mengalami ketakutan yang tidak sewajarnya berlebihan.

Faktanya, Hoseok pengidap claustrophobia.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

TBC

FATAMORGANAWhere stories live. Discover now