BAB 2

4.2K 318 5
                                    

Dahulu, Kinan sering mendengar cerita dari teman-temannya tentang orang tua mereka yang bercerai. Kinan bersimpati pada mereka. Kinan meraih tubuh temannya itu, berusaha untuk menenangkannya, membisikkan kata-kata yang mungkin saja membuatnya kembali bersemangat.

Namun, ketika Kinan sendiri yang berada di posisi itu, lidahnya mendadak kelu. Untuk menanyakan keseriusan ucapan Jihan saja, Kinan tidak bisa. Kinan hanya bisa membeku di tempatnya. Dunianya mendadak runtuh dalam sekejap.

Siapa, sih, yang ingin menjadi seorang anak dari keluarga yang hancur?

Kinan tidak pernah berharap keluarganya akan hancur begitu saja. Ia tidak mengerti dengan apa yang ada di pikiran kedua orang tuanya. Setelah hampir dua puluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga, keduanya akhirnya menyerah.

"Ma, Kinan mau ke kamar," kata Kinan pada akhirnya. Ia mendorong kursinya ke belakang, dan bangkit. Senyum sendu terbit di bibirnya, sejenak membuat Jihan merasa bersalah.

"Maafin Mama, ya, Sayang," ucap Jihan sekali lagi.

"Mama nggak usah minta maaf." Tanpa menoleh kembali ke arah Jihan, Kinan melangkahkan kakinya menuju kamar. Meski hatinya saat ini benar-benar hancur, Kinan tidak boleh tampak lemah di hadapan Jihan. Ia tidak ingin Sang Mama terus-menerus merasa bersalah.

Kinan membuka pintu kamarnya dengan lesu. Dan dengan gerakan perlahan, ia menutupnya kembali. Kinan terdiam sejenak di balik pintu. Matanya menatap sebuah pigura yang terpajang di atas meja belajarnya. Itu foto Kinan dengan kedua orang tua dan kakaknya.

Mengusap air matanya yang memaksa keluar dari sudut mata, Tanpa menyalakan lampu, Kinan berjalan menuju meja belajarnya. Ia membalik pigura itu, lalu melompat ke tempat tidur. Kinan berusaha menahan isakannya, namun gagal.

Kinan tidak pernah menyangka jalan hidupnya akan seperti ini. Meski memang tidak ada yang tahu ke depannya, setidaknya, bukan ini yang Kinan harapkan. Ia memiliki bayangan indah tentang masa depannya.

"Nan? Kenapa?"

Suara itu menyadarkan Kinan. Tanpa Kinan sadari, barusan ia menghubungi Ghifara. Entah pikiran dari mana. Yang pasti, Kinan butuh seseorang yang mungkin saja dapat dipercayanya saat ini.

"Halo? Nan? Kepencet doang, ya?" Kinan tidak juga menjawab. "Gue matiin, ya—"

"Eh, jangan!" potong Kinan cepat, "ummm, lo ... sibuk nggak?"

***

Begitu Ghifara membuka pintu café, ia langsung mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari Kinan. Tadi, saat Ghifara sedang mengerjakan tugasnya, tiba-tiba saja Kinan menelepon. Awalnya, ia kira Kinan tidak sengaja memencet opsi call.

Tetapi, ketika tiba-tiba Kinan bersuara dengan suara yang terdengar serak, Ghifara tahu ada sesuatu yang terjadi pada Kinan. Dan ketika ia mendapati Kinan sedang duduk di kursi dekat jendela tanpa hidangan apapun di hadapannya, Ghifara tahu bahwa ada suatu masalah yang mengganggu Kinan.

Entah sejak kapan Ghifara memperhatikan raut wajah Kinan sampai-sampai ia tahu, perempuan bermata hitam itu sedang bersedih.

"Hei."

Ghifara mengerjapkan kedua kelopak matanya. Saat ini, tanpa Ghifara sadari, ia sudah berdiri di hadapan Kinan. Senyum Ghifara terbit saat melihat Kinan. Namun, memudar saat melihat mata perempuan itu tampak sembap.

Khawatir, Ghifara duduk di hadapan Kinan. "Lo kenapa?"

Kinan menggeleng pelan. Ia berusaha tersenyum, namun saat melihat wajah khawatir Ghifara, kedua manik mata Kinan langsung berkaca-kaca. Lalu, setetes cairan mengalir dari sudutnya.

Last SceneWhere stories live. Discover now