BAB 18

2.2K 226 10
                                    

Suasana mendadak hening di antara keduanya. Hiruk pikuk yang awalnya terdengar memasuki rongga telinga Arzen, mendadak lenyap. Kalimat yang Kinan ucapkan seolah mengalahkan semuanya. Bahkan kesadarannya sendiri.

Kepala Arzen terasa pening. Ia menatap Kinan tak percaya. "A-apa kata lo barusan?"

Kinan membuang pandangannya. Rasa sesak itu kembali menyiksa dadanya. "Kakak gue meninggal. Kecelakaan di dekat sekolah. Ingat yang sempat heboh itu? Salah satu korbannya kakak gue."

Ingatan Arzen seolah melayang. Ia ingat pada hari itu, mama memeluknya dengan erat. Pun papa ikut memeluknya. Tetapi, kedua manik matanya tidak bisa lepas dari tubuh kakaknya yang terbujur kaku di atas brankar dengan kain putih yang menutupi.

Arzen mengerti dengan perasaan yang Kinan rasakan saat ini. Karena dahulu, ia juga pernah merasakan yang sama. Bahkan lebih menyesakkan lagi.

"Nan." Nada suara Arzen melunak. "Gue paham gimana perasaan lo. Gue juga sedih pas itu. Apalagi ... kakak gue meninggal karena bunuh diri. Lo ... tahu 'kan gimana menyakitkannya? Kakak gue nyia-nyiain hidupnya, Nan. Padahal gue masih ada di sini."

Kinan mengusap sudut matanya. Kedua matanya yang sembap menatap Arzen. Sementara laki-laki itu menunduk. Tidak seperti biasanya di mana Arzen selalu tersenyum. Dan ini adalah kedua kalinya Kinan melihat Arzen tampak begitu rapuh.

"Lo harus kuat, Nan. Meskipun lo sekarang sendiri, percayalah, lo nggak benar-benar sendiri. Ada banyak orang yang bakal nemenin lo." Arzen meraih tangan Kinan, dan diusapnya dengan lembut. "Salah satunya gue. Bahkan, walaupun dunia ninggalin lo, gue nggak bakal pergi. Gue bakal tetap di sini."

Senyum Kinan lantas tersungging di bibirnya. Ucapan Arzen terdengar begitu tulus. Sampai-sampai, air mata Kinan menetes.

"Nggak usah nge-gombal, deh, Kak," ucap Kinan. Ia menarik tangannya dari genggaman Arzen.

Arzen nyengir. "Main, yuk," ajaknya, "tapi, kali ini lo nggak boleh ngelamun. Gue nggak terima."

Tanpa sadar, Kinan ikut nyengir. "Oke."

***

Setelah dinyatakan kondisinya sudah membaik, Ghifara diperbolehkan untuk pulang hari ini. Meskipun sebenarnya mundur dua hari dari perkiraan awal, namun tidak ada masalah. Ghifara tetap senang.

"Bun, ke makam Ayah dulu 'kan?"

Aileen membeku di tempatnya. Begitu pun dengan Ghafa. Keduanya tidak ada yang bersuara. Seolah, kenyataan itu masih terasa menyakitkan. Dan memang benar-benar menyakitkan.

"Pulang dulu, ya, Ghif. Besok 'kan bisa." Ghafa angkat suara. "Lo juga bisa istirahat. Bilangnya aja pengin balik ke sekolah, tapi nggak mau istirahat." Setelah itu, Ghafa pamit, ingin mengambil obat milik Ghifara katanya.

Ghifara memberengut. Ia duduk di bangku panjang yang terletak di depan tempat pengambilan obat. Di sebelahnya, Aileen ikut duduk.

"Padahal aku kangen sama Ayah. Pengin ketemu, pengin minta naaf. Kenapa, sih, nggak boleh?" Ghifara protes. Ia membuang pandangannya.

Sementara Aileen menghela napas. "Yaudah. Sebentar aja tapi, ya. Setelah itu kamu istirahat. Nggak ada main-main dulu. Bunda nggak mau kamu drop lagi."

Last SceneWhere stories live. Discover now