BAB 16

2.6K 217 16
                                    

"Dunia ini memang indah, namun, tidak semua orang dapat menikmati keindahannya."

***

"Jalan dulu, yuk!"

Ghifara menoleh dengan alis yang tertaut heran. Ia menghentikan aktivitasnya untuk sesaat. "Ha? Jalan dulu? Lo kenapa, deh, Kak? Udah nungguin lo rapat lama banget, sekarang lo ngajak gue jalan? Ngaco!"

Ghafa nyengir. Meskipun di mata Ghifara, cengiran laki-laki itu hanya formalitas belaka. "Lagi pengin es krim, nih. Lo mau nggak? Beli dulu, yuk. Sekalian ke mana gitu, gue lagi males banget pulang, sumpah."

Ghifara makin menatap Ghafa dengan aneh. "Lo lagi kenapa, sih?"

"Kenapa apanya? Nggak kenapa-napa, kok," jawab Ghafa. Seperti anak kecil, ia meraih lengan Ghifara, kemudian menariknya. Untuk sesaat membuat Ghifara tersentak di tempatnya. "Ayo, beli es krim!"

Ghifara menghela napas panjang. "Kenapa jadi kayak gue, sih, yang kakaknya?" gumamnya pelan. Ia sendiri tidak habis pikir dengan sikap Ghafa yang tiba-tiba tampak aneh. Namun, untuk saat ini semua pikiran buruknya ia tepis begitu saja.

"Yaudah, yuk." Bangkit dari bangkunya, Ghifara berjalan terlebih dahulu. Meninggalkan Ghafa yang masih terdiam di tempatnya. Mata laki-laki itu menatap adik sepupunya dengan sendu. Ucapan Aileen tadi lantas terngiang di telinganya. Suara itu terdengar begitu lirih. Ditambah isakannya sesekali terdengar.

"Tolong, Ghaf. Untuk saat ini, jangan sampai Ghifara tahu, ya. Nanti biar Bunda pikirin gimana caranya buat ngasih tahu dia. Bunda takut kondisinya drop lagi."

"Oi, Kak!" Ghafa mengerjapkan kelopak matanya saat mendengar teriakan itu. "Ayo! Jangan malah bengong di situ."

Ghafa melangkah, menghampiri laki-laki yang bahkan saat ini tidak berani ia tatap matanya. Ada rasa sesak saat melihat kedua manik itu tampak bersinar lembut. Ghafa takut, kabar buruk itu akan membuat sinar itu benar-benar meredup.

"Tapi gimana, Bun? Bukannya mau nanti atau sekarang, efeknya bakal sama aja?"

Tidak ada jawaban dari seberang sana. Tangan kanan yang awalnya menopang tubuhnya, Ghafa turunkan. Suara hiruk pikuk di koridor tidak ia gubris lagi. Semuanya terasa semu.

"Tolong, Ghafari. Bunda cuma ... belum siap buat ngasih tahu sekarang." Lalu, panggilan diputus. Ghafa masih tidak dapat bereaksi di tempatnya.

"Sumpah, lo hari ini aneh banget, Kak."

Ghafa lagi-lagi mengerjap. Tanpa ia sadari, sekarang dirinya dan Ghifara sudah berada di halte depan sekolah. Ia menatap Ghifara yang memberengut di tempatnya.

"Kalau lo bengong gitu terus, mending pulang aja, Kak." Ghifara berucap sinis. Kesal karena sedari tadi ucapannya tidak didengar oleh kakak sepupunya itu. Entah apa yang sedang laki-laki itu pikirkan, Ghifara tidak tahu.

Ghafa lantas tersenyum tipis. "Sorry."

***

Kinan sedang asyik memperhatikan ikan-ikan di kolam yang berada di taman belakang ketika tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Mengumpat pelan, ia meraih ponsel yang berada di atas bebatuan di pinggir kolam. Untung saja Kinan tidak menyenggolnya.

Mata Kinan menelisik, membaca nama yang tertulis di layar ponselnya. Mama. Segera saja Kinan mengusap warna hijau di layar, menjawab panggilan.

"Halo, Ma."

Last SceneWhere stories live. Discover now