BAB 11

2.6K 215 1
                                    

"Nggak usah dipikirin lah si Arzen." Ghafa mengibaskan tangannya dan menyimpan ponselnya di dalam saku jaket. "Ngomong-ngomong, tadi lo berantem sama Ayah?"

"Nggak berantem, kok." Ghifara mengelak.

"Masa?"

Ghifara menatap langit-langit kamar rawat dengan tatapan sendu. Hingga obrolan panas antara ia dan sang ayah terputar di otaknya.

"Kangen sekolah." Ghifara menggerutu pelan. Membuat Gavriel yang berada di dekatnya langsung menoleh. Pria itu memang sengaja mengambil cuti untuk beberapa saat. Sehingga hari ini, ia menggantikan Aileen untuk menjaga Ghifara.

"Kangen sekolah atau kangen doi?" tanya Gavriel menggoda.

"Dih, apaan, sih?" Ghifara kesal sendiri. Sebagian perasaannya memang senang saat sanga ayah yang menjaganya. Namun, sebagiannya lagi justru menyesal.

Menyesal karena sudah meminta Gavriel untuk meluangkan waktu untunya. Karena pada kenyataannya, Gavriel masih sibuk pada pekerjaannya. Sebagai bukti, laptop miliknya yang menyala di atas meja.

"'Kan, biasanya yang dikangenin bukan sekolahnya, tapi orangnya."

Ghifara lantas mengibaskan tangannya, lalu membuang pandangan. "Udah kerjain tugasnya lagi aja. Aku udah biasa, kok, ngomong sendiri," ucap Ghifara sinis.

Gavriel membeku di tempatnya. Ia lantas menyimpan dokumen pekerjaannya, lalu menutup laptopnya. "Kamu kesepian?" tanyanya khawatir. Selama ini, ia memang meninggalkan anak semata wayangnya itu sendirian. Urusan pekerjaan yang membuatnya harus melakukan hal itu. Ditambah lagi, biaya pengobatan Ghifara yang cukup mahal membuatnya harus bekerja lebih keras.

Ghifara tidak juga menatap sang ayah. "Nggak, aku nggak kesepian. Malah teman aku banyak. Mereka mau nemenin aku," jawab Ghifara acuh tak acuh, "mending Ayah kerjain tugas Ayah lagi aja."

"Jujur sama Ayah, Ghifara." Gavriel duduk di sebelah Ghifara. "Ayah udah ngeluangin waktu buat kamu---"

"Kalau aku nggak minta, Ayah nggak bakal ngambil cuti 'kan?" potong Ghifara cepat, "karena pekerjaan Ayah lebih penting 'kan?"

"Ghifara!" Wajah Gavriel mengeras. "Jaga ucapan kamu! Ayah begini buat kamu juga. Kamu pengin sembuh 'kan?"

"Aku nggak bisa sembuh, Yah." Ghifara berujar lirih. Ia ingin menangis, namun tidak bisa. Sudah sejak lama Ghifara menerima keadaan tubuhnya. Bersikap seolah ia adalah remaja biasa, yang tidak memerlukan perhatian khusus.

Gavriel menepuk dada kiri Ghifara perlahan. "Jangan pesimis. Kalau kamu percaya, kamu pasti bisa."

Aku udah nggak bisa percaya, Yah, batin Ghifara bersuara, udah terlalu lama. Aku juga punya batas.

"Boleh bilang ke Kak Ghafa buat ke sini?" Ghifara mengalihkan pembicaraan. "Ayah bisa pulang. Nggak usah peduliin aku."

Gavriel tersenyum tipis dan mengacak rambut Ghifara. Ia mengambil laptopnya, kemudian memasukkan benda itu ke dalam tas. "Ayah pulang dulu, ya." Lalu, ia ke luar dari kamar. Sementara Ghifara malah asyik pada ponselnya sendiri.

"Terus, lo udah minta maaf?" tanya Ghafa. Lantas, Ghifara menggeleng pelan. "Lah? Gimana, sih? Seharusnya lo minta maaf, Ghif. Sebelum semuanya malah terlambat."

Last SceneDonde viven las historias. Descúbrelo ahora