BAB 6

3.1K 266 19
                                    

Ketika melewati lorong rumah sakit, Ghafa sedikit heran dengan sikap Ghifara yang sedari tadi hanya diam, tidak seperti biasanya. Hal itu membuat Ghafa menghentikan langkahnya. Yang otomatis, membuat sepupunya itu ikut berhenti.

"Kenapa, sih?" Ghifara protes.

"Lo yang kenapa," balas Ghafa kesal. Ia duduk di salah satu kursi panjang yang ada di depan departemen urologi. Ghifara ikut duduk di sebelahnya. "Daritadi diam aja. Nggak jelas."

Ghifara menarik napas panjang. "Cuma kepikiran orang yang tadi," jawab Ghifara.

Alis Ghafa tertaut. "Orang yang tadi?"

"Orang yang tadi papasan sama kita itu, lho. Yang di depan ruang rawat inap bedah anak," lanjut Ghifara santai, "yang ditutupin pakai tutupan keranda."

Mendadak Ghafa merinding mendengar perkataan Ghifara. Laki-laki itu memang suka berbicara yang aneh-aneh. Dan kadang kala terdengar menyeramkan.

"Gue mikirin kalau yang ada di situ itu gue," ucap Ghifara, "Bunda sama Ayah bakal mengiringi gue nggak, ya? Atau kayak yang tadi, nggak ada keluarga di dekatnya."

Ghafa tersenyum miris. Ia menatap hasil check lab--atau yang sering Ghifara sebut dengan kertas kutukan--dengan saksama. Itu adalah hasil rontgen thorax-nya. Tertulis nama lengkap sepupunya di sana.

"Gue ngebayangin kalau nanti gue harus ngehadapin akhir hidup gue sendirian." Ghifara lantas tersenyum. Tak ayal cairan bening melapisi permukaan bola matanya. "Kayaknya gue nggak bakal sanggup."

Ghafa hanya diam. Kedua manik matanya menatap pengunjung rumah sakit yang sedari tadi berjalan di hadapannya. Ekspresi mereka beragam. Ada yang bersedih, bahkan ada yang bahagia karena telah berhasil melewati masa-masa sulitnya di tempat itu.

Namun, saat melihat Ghifara, Ghafa tidak bisa menebak ekspresi wajah laki-laki itu. Senyum tercetak tipis di bibirnya, namun Ghafa dapat melihat kesedihan yang teramat dalam di matanya. Seolah, senyumnya hanya untuk formalitas belaka.

"Gue ngebayangin kalau Bunda sama Ayah udah nggak sanggup ngurus gue," lanjut Ghifara lirih, "gue nyusahin banget jadi anak. Kenapa, ya, Bunda sama Ayah terus ngebiarin gue hidup? Bukannya kalau gue nggak ada, hidup mereka jadi lebih mudah? Secara, bebannya udah nggak ada."

"Lo ngomong apa, sih, Ghif?" ucap Ghafa kesal, "Bunda sama Ayah sayang sama lo. Nggak mungkin mereka bakal biarin lo mati. Kenapa, sih, lo selalu anggap diri lo sendiri sebagai beban? Nggak ada anak yang jadi beban orang tuanya, Ghif."

"Tapi gue paham, Kak. Gue nyusahin Bunda sama Ayah. Biaya pengobatan gue mahal, dan---sepertinya---gue harus bergantung sama semua hal menyedihkan ini selamanya. Belum lagi biaya hidup gue sehari-hari sama biaya pendidikan." Ghifara tertawa pelan. "Mungkin aja, kalau gue mati, bisa kaya kali, ya. Bunda nggak perlu capek-capek kerja juga buat gue. Ayah nggak perlu kerja terus sampai nggak pernah liburan lagi.

"Gue heran. Katanya, anak itu anugerah. Tapi, kok, gue nggak ngerasa kayak gitu, ya?"

Ghafa menarik napas. "Seenggaknya, lo punya orang tua lengkap, Ghif. Nggak kayak gue," balas Ghafa lirih, "seharusnya lo bersyukur karena orang tua lo masih mau ngerawat lo, masih sayang sama lo. Nggak kayak orang tua gue.

"Kalau lo ngerasa kayak gitu, gue nggak tahu harus gimana. Nyatanya, yang dibuang sama orang tuanya itu gue 'kan, bukan lo?"

Ghifara terdiam sesaat sebelum akhirnya bangkit. Ia merapikan jaketnya, lalu berkata, "pulang, yuk. Gue capek banget. Pengin istirahat. Biar besok bisa sekolah."

Mengembuskan napasnya, Ghafa ikut bangkit. Ia berjalan di sebelah Ghifara, mengikuti langkahnya yang tidak terlalu lebar. Rasa cemas melingkupi perasaannya.

Last SceneWhere stories live. Discover now