BAB 24

2.4K 180 6
                                    

Kondisi Ghifara membaik. Bahkan, water seal drainage-nya pun sudah bisa dilepas. Ia tersenyum senang dengan kaki yang menggantung di samping ranjang. Kedua mata beriris cokelatnya menatap ke luar jendela dengan binar yang tampak jelas di permukaannya.

"Definisi bahagia yang sesungguhnya," ucap Arzen. Ia sedari tadi duduk di sofa bersama Ghafa. Dengan laptop dan sekantung keripik kentang, keduanya hanya diam, enggan melihat proses dilepasnya WSD yang menurut mereka mengerikan.

Setelah bekas luka ditutup oleh balutan, Ghifara kembali berbaring di atas tempat tidur. Senyumnya tidak juga luntur. Terbayang di benaknya besok bisa pulang ke rumah. Ghifara sudah muak dengan tempat ini.

"Benar-benar definisi sebuah kebahagiaan," ujar Arzen lagi. Ia membuka sebotol air yang ada di atas meja, lalu meneguknya.

"Lo bakal ngerasain gimana rasanya kalau lo ada di posisi gue, Ar," balas Ghifara. Ia menaikkan selimutnya. "Gue penasaran, deh. Bunda lagi ngomongin apa, ya, sama dokter?"

Ghafa mengedikkan kedua bahunya. Matanya masih fokus pada layar laptop yang menampilkan sebuah film bergenre comedy-romance. Jangan kira Ghafa mau menonton film itu. Ia hanya mengikuti Arzen.

Tak lama, pintu terbuka. Baik Ghifara, Ghafa, maupun Arzen, menoleh ke arah pintu. Tak lama, Aileen masuk. Wajahnya yang tampak lelah menampilkan senyum. Kali ini, bukan senyum sendu, namun penuh dengan kebahagiaan. Segera saja Aileen menghampiri Ghifara yang menatapnya heran.

"Bunda kenapa?" tanya Ghifara.

Aileen duduk di sebelah Ghifara, lalu meraih tangan kirinya yang tidak terpasang infus. Digenggamnya erat tangan dingin itu.

"Bunda punya kabar gembira buat kamu," jawab Aileen, menggantung. Yang malah membuat Ghifara menyernyit heran. Tumben-tumbenan Aileen kembali dengan kabar gembira setelah berbincang dengan dokter.

Ghafa dan Arzen yang mendengar itu langsung menghentikan filmnya untuk sementara. Mereka memasang kuping, mendengarkan Aileen secara saksama.

"Akhirnya Bunda menemukan pendonor yang cocok buat kamu, Sayang," lanjut Aileen senang, "sebentar lagi kamu sembuh."

Wajah Ghifara terlihat pias. Ia tidak tersenyum sama sekali. Padahal, kalimat itu adalah kalimat yang selalu ditunggunya.

Melihat wajah Ghifara, senyum Aileen pun luntur. "Kok kamu kayak nggak senang gitu?" Ia mengusap surai Ghifara. "Senyum, dong! Akhirnya kamu bisa sembuh."

Tangan kanan Ghifara langsung terangkat, lalu diletakkannya di atas tangan Aileen, dan digenggamnya dengan erat. Tak lama, senyumnya terbit. Kedua manik matanya tampak berkaca-kaca.

"Aku senang, Bunda. Makasih."

***

"Waha! Akhirnya Kinan datang!" Arzen bersorak heboh. "Eh, Nafissa juga. Pa kabar, Babe?"

Kinan dan Nafissa kompak mendengkus. Tingkah Arzen benar-benar memalukan.

"Gue heran, kenapa gue harus punya calon kakak tiri macam dia?" tanya Kinan heran. Ia berderap menghampiri Ghifara, lalu menjitaknya dan membuat laki-laki beriris cokelat itu meringis. "Sumpah, Ghif! Lo bikin gue takut."

Ghifara menatap Kinan tak mengerti. "Takut? Emang gue ngapain?" Ia balik bertanya, setelah sebelumnya mengubah posisinya menjadi duduk dengan punggung disandarkan di sandaran ranjang.

"Kak Ghafa nelepon gue tadi malam." Wajah Kinan memerah. "Gue pikir lo kenapa-napa. Gue udah takut banget."

Mendengar jawaban Kinan, Ghifara lantas tertawa geli. Ia menepuk puncak kepala Kinan. "Maafin Kak Ghafa, ya."

Kinan mengerucutkan bibirnya. Kedua matanya tampak kembali berkaca-kaca. Pipinya makin memerah.

"Jangan gitu lagi, gue nggak suka," ucapnya pelan, "sumpah, gue bakal ngebenci lo kalau lo begitu lagi. Gue nggak main-main sama ucapan gue. Awas aja!"

Ghifara tergelak. "Iya, Nan."

***

"Operasinya seram nggak, Dok?" tanya Ghifara pelan. Suaranya terdengar bergetar. Entah kenapa, ia tidak merasakan rasa bahagia itu.

Dokter Fia menggeleng pelan. "Enggak, kok. Cuma dada kamu dibuka, abis itu jantungnya dipindahin," jawabnya, "kamu tenang aja. Selama kamu tenang dan kuat, nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita berusaha sama-sama, ya."

Ghifara mengangguk pelan. Ia menoleh, menatap sang bunda yang duduk di sebelahnya. Lalu, kembali menatap Dokter Fia. "Biasanya cuma empat jam. Kamu nggak perlu takut. Saya akan mengusahakan semuanya."

Lagi-lagi, Ghifara hanya bisa mengangguk pelan. "Prosedurnya?"

"Saat operasi besok, kamu akan ditempatkan di atas mesin heart-lung untuk menjaga sirkulasi darah dalam tubuh. Lalu, jantung baru akan dipindahkan ke tubuh kamu. Setelah jantung baru kamu dijahit pada posisinya dan mulai berdetak, kamu dipindahkan dari mesin heart-lung. Selesai. Tinggal proses penyembuhan," jelas Dokter Fia.

"Yah, kalau Dokter yang ngejelasin, kedengerannya simpel," gumam Ghifara pelan. Ia menunduk dalam-dalam. Lalu, kembali bertanya. "Kemungkinan berhasilnya berapa persen? Aku bisa mati nggak?"

Mendengar pertanyaan Ghifara, Aileen lantas menyenggol tubuh laki-laki itu.

"Jangan ngomong aneh-aneh," ujar Aileen, "kamu harus percaya kalau operasinya bakal berhasil. Kamu harus yakin itu."

"Jadi, harapan hidupnya berapa persen, Dok?" Ghifara mengulang pertanyaannya.

"Delapan puluh persen mampu bertahan hidup setelah operasi," jawabnya, "dengan catatan, setelah itu kamu harus menerapkan pola hidup sehat."

Ghifara diam sejenak. Ia meraih tangan Aileen. "Masih ada dua puluh persen," gumamnya pelan. Suaranya benar-benar bergetar kali ini.

Aileen mengusap punggung tangan Ghifara lembut, berusaha menenangkan anaknya itu.

"Aku takut, Bunda," bisik Ghifara.

Aileen tersenyum. "Jangan takut," balasnya memberi semangat. Ia menatap Dokter Fia dan mengangguk pelan.

Sementara Dokter Fia membuka dokumen di hadapannya. "Silakan tanda tangan di sini." Ia menunjuk sebuah baris kosong di bagian bawah kertas. Segera saja, Aileen mengambil pulpen yang ada di sebelah dokumen itu dan menandatanganinya.

"Itu apa?" tanya Ghifara penasaran, "kalau aku mati, ya?"

"Itu namanya informed consent. Pernyataan kalau kamu menerima prosedur yang akan dilaksanakan. Karena kamu masih di bawah umur, jadi bunda kamu yang tanda tangan." Dokter Fia kembali menutup dokumen itu. "Operasinya akan dilaksakan besok pukul delapan pagi."

Dokter Fia bangkit dan tersenyum ke arah Ghifara. Ia mengusap pundak laki-laki itu dengan lembut. "Kamu jangan takut, ya. Saya yakin kamu bisa sembuh." Lalu, ia berlalu dari hadapan Ghifara dan Aileen.

"Bunda besok nunggu aku di sini 'kan? Bunda nggak bakal ke mana-mana 'kan?" Ghifara bertanya. Ia mengusap sudut matanya yang menitikkan setetes air mata.

Aileen tersenyum tipis. Benar-benar tipis. "Iya, Sayang."

*****

A/n

Satu lagi, dan penderitaan Ghifara selesai :(

Last SceneWhere stories live. Discover now