BAB 25

2.6K 140 16
                                    

"Kinan, apa definisi berjuang menurut kamu?"

Kinan menoleh, menatap Ghifara yang duduk di ayunan sebelahnya. Angin lembut menerbangkan rambutnya. Benar-benar menenangkan.

"Berjuang, ya? Usaha gue untuk mendapatkan sesuatu ...?"

Ghifara terkekeh pelan. Ia bangkit dari ayunan yang didudukinya, lalu berdiri di hadapan Kinan. Dijulurkan tangannya, menunggu balasan Kinan.

"Ngapain, sih? Enakan duduk di sini. Jarang-jarang 'kan, kita main ayunan begini. Di sekolah nggak ada," ucap Kinan. Ia menurunkan tangan Ghifara. "Kalau lo, apa definisi berjuang menurut lo?"

Ghifara tertawa geli. Ia akhirnya kembali duduk di ayunan sebelah Kinan. Kedua kakinya mendorong.

"Kamu tahu, Nan, aku selalu berjuang seumur hidup aku. Aku berjuang untuk bangun setiap paginya. Berjuang itu udah kayak hidup aku," jawab Ghifara. Ia menatap langit. Gumpalan awan terlihat bergerak ditiup angin.

"Lo capek nggak?" tanya Kinan penasaran, "maksud gue, apa pernah lo ngerasa capek buat terus berjuang?"

"Kalau aku capek, hidupku untuk berakhir sejak dulu." Ghifara tertawa pelan. Lalu, tawanya menghilang, berganti dengan senyum sendu. "Yah, jujur, aku kadang capek juga, Nan. Aku pengin kayak Kak Ghafa, Arzen, atau kamu yang bisa bebas. Aku pengin kayak anak lainnya juga."

Kinan menundukkan kepalanya, menyesal telah bertanya seperti itu. Kedua netranya menatap rerumputan hijau. "Dan ... lo bakal terus berjuang 'kan?"

"Kinan, harus terus berjuang itu melelahkan. Bahkan orang terkuat sekalipun, bakal lelah pada akhirnya. Kekuatan untuk terus berjuang itu ada batasnya," balas Ghifara lirih, "dan aku udah berada di batasan itu."

Dengan cepat, Kinan menoleh. "Maksud lo apa?" tanya Kinan sangsi, "lo bakal terus berjuang 'kan?"

"Aku capek, Kinan," jelas Ghifara, "Tuhan udah ngasih enam belas tahun untuk aku hidup. Bunda dan Ayah juga udah ngusahain agar aku tetap hidup. Aku ngerasa ... nggak pantas kalau aku minta lebih."

Keadaan mendadak hening. Hanya ada suara embusan angin yang terdengar. Hingga akhirnya, keheningan dihancurkan oleh Ghifara.

"Nan, boleh aku meluk kamu?" tanya Ghifara. Kinan lantas menoleh. "Untuk pertama dan terakhir kalinya."

Kinan mengangguk pelan. "Iya, boleh."

Ghifara bangkit, lalu memeluk Kinan erat, seolah tidak ingin melepaskannya.

"Makasih, ya, Nan."

"Untuk?"

"Semua yang udah kamu kasih ke aku. Untuk waktu-waktu berharganya. Aku nggak bakal ngelupain itu. Kamu juga jangan ngelupain itu, ya. Kamu harus janji."

Kinan melepaskan pelukan Ghifara dari tubuhnya. "Iya, gue janji."

***

"Kenapa akhir-akhir ini mimpi gue nyeremin, sih?" gumam Kinan pelan. Ia membuka pintu utama rumahnya.

"Kenapa lo?" Arzen yang sedari tadi berdiri di depan pintu langsung bertanya heran. Pasalnya, Kinan baru saja ke luar dari rumahnya dan langsung berbicara sendiri. Arzen jadi takut.

Kinan mengedikkan bahunya. Ia memakai sepatunya, lalu menutup pintu. "Kenapa lama banget, sih? Gue udah nunggu dari tadi!" omel Kinan, "bilangnya jam sebelas, sekarang udah jam empat, Kak!"

Last SceneWhere stories live. Discover now