BAB 21

2.1K 188 18
                                    

Senyum Ghifara mengembang saat melihat Aileen sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi sore ini. Rasa lelah yang dirasakannya mendadak menguap. Jarang-jarang bundanya itu sudah berada di rumah sore-sore begini.

"Buuunda." Ia memeluk Aileen dari belakang, membuat wanita berusia 40 tahun itu memekik kaget. Namun tak ayal, senyumnya terbit.

"Kamu ini kerjaannya ngagetin Bunda," ucap Aileen, "kok, baru pulang? Tadi Kak Ghafa rapat dulu kah?"

Ghifara berpindah posisi ke sebelah Aileen. Ia menggeleng pelan. "Enggak, kok. Tadi jalannya agak macet aja."

Entah kenapa, hari ini Ghifara ingin bermanja-manja dengan sang bunda terlebih dahulu. Ia melepas tasnya dan meletakkannya di sebelah sofa. Kemudian, Ghifara menidurkan kepalanya di atas pangkuan Aileen.

"Kamu lagi kenapa, sih, hari ini?" tanya Aileen heran. Ia mengelus surai cokelat Ghifara.

Ghifara tersenyum dan menggeleng pelan. Ia memejamkan matanya. "Lagi pengin aja," jawabnya singkat. Sebelum aku nggak bisa manja-manja lagi sama Bunda.

"Kamu lagi ada masalah, ya?" Aileen menjawil hidung Ghifara. "Biasanya kalau udah kayak gini, pasti mau cerita. Ya 'kan?"

"Nggak mau."

"Lho? Kenapa?"

Ghifara membuka kelopak matanya kembali dan menunjuk Ghafa yang sedari tadi berdiri di depan akuarium sambil memperhatikan pergerakan ikan-ikan di dalamnya. "Ada Kak Ghafa."

Ghafa yang mendengar itu langsung berdecih. Ia mengambil plastik berisi makanan ikan yang ada di atas akuarium, kemudian membuka ikatannya dan memasukkan sedikit isinya ke dalam akuarium.

"Cuma mau ngasih makan ikan, abis itu gue ke kamar, kok," ucap Ghafa sinis. Ia melirik Ghifara yang terkekeh di pangkuan Aileen. Sedikit rasa iri mulai memasuki perasaannya. Tapi hanya sesaat. Karena pada dasarnya, Ghafa sudah terbiasa dengan hal itu.

"Ngasih makan ikan aja lama banget." Ghifara protes.

Ghafa mendengkus kesal. Ia mengikat kembali plastik berisi makanan ikan dan meletakkannya di atas akuarium. "Udah, nih, udah! Nggak usah protes."

Ghifara tergelak saat melihat Ghafa berderap ke kamarnya. Ia menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Lalu, kedua manik matanya menatap wajah Aileen yang juga sedang menatapnya. Dari sini, ia dapat melihat kehangatan yang terpancar dari tatapan mata bundanya itu.

"Bun," panggil Ghifara, "aku sayang Bunda."

Ghifara dapat menangkap keterkejutan di wajah Aileen. Meskipun hanya sedetik hingga senyum manisnya terbit. Ia menyentil kening Ghifara.

"Ada apa tiba-tiba kamu bilang sayang? Biasanya aja gengsi."

Ghifara mengerucutkan bibirnya. Dan hal itu malah membuat Aileen gemas dengan tingkah anak satu-satunya itu.

"Emang kenapa kalau aku bilang sayang? Bunda nggak mau kalau aku sayang?" tanya Ghifara. Kedua tangannya melepaskan ikatan dasi yang melingkar di lehernya. Entah kenapa, napasnya terasa sesak sore ini.

"Nggak biasanya aja kamu begini," jawab Aileen. Ia mengelus dada Ghifara dan merasakan detakan jantungnya di sana. "Kamu nggak lagi kenapa-napa 'kan?"

Ghifara menggeleng pelan. "Cuma sedikit sesak aja," balas Ghifara jujur, "kayaknya komplikasi penyakit yang kemaren dokter cerita---"

"Jangan asal ngomong." Aileen memotong ucapan Ghifara. Ia meraih tangan Ghifara dan menggenggamnya erat. "Tangan kamu besar, ya."

"Gara-gara edema, Bun," timpal Ghifara. Ia melepaskan genggaman Aileen dan menekan punggung tangannya. "Tuh, lama baliknya. Nggak jelas banget, ya." Kemudian, Ghifara terkekeh pelan. Dengan kedua tangannya, ia meraih tangan Aileen, dan digenggamnya dengan erat.

"Aku nggak masalah kalau cuma begini doang." Suaranya mendadak terdengar lirih. "Aku cuma takut kalau penyakitku udah nyampe paru-paru, atau ke ginjal. Aku nggak mau nyusahin Bunda lebih dari ini. Udah cukup aku jadi beban selama enam belas tahun kehidupanku ini. Maafin aku."

"Ghif ...." Kedua manik mata Aileen mendadak berkaca-kaca. Ia melepaskan genggaman tangan Ghifara dan memeluk laki-laki itu dengan erat, seolah tidak ingin melepaskannya sama sekali. Dan memang kenyataannya begitu.

"Jangan nyerah," gumam Aileen. Suaranya terdengar samar. Digantikan oleh isakannya. "Bunda nggak pernah nganggap kamu beban. Kamu itu hadiah paling berharga yang pernah Tuhan kasih buat Bunda. Kamu nggak perlu minta maaf. Justru seharusnya Bunda yang minta maaf karena nggak bisa ngelahirin kamu dengan sempurna."

"Bun ...." Ghifara berucap lirih. Aileen lantas melepaskan pelukannya. Kedua netranya menatap wajah pucat anaknya itu. Bibirnya sedikit terbuka, seolah berusaha untuk meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Napasnya tersengal. Dan hal itu lantas membuat Aileen panik.

"Bun-da ... sesak."

*****

A/n

Halo! Ketemu lagi sama aku. Kayaknya aku beneran bisanya ngetik pendek-pendek, tapi sering gitu :" kalau kepanjangan aku bingung jatohnya.

Enjoy!

Last SceneWhere stories live. Discover now