BAB 22

2K 159 12
                                    

Kalau kata orang-orang, Tuhan tidak akan memberikan cobaan pada seseorang melainkan sesuai pada kemampuannya.

Awalnya, Ghifara percaya dengan hal itu. Namun, ketika pada akhirnya saat ini ia berada di rumah sakit dengan sebuah lubang di tubuhnya dan selang yang dimasukkan ke dalamnya, Ghifara merasa benar-benar tidak sanggup lagi. Ia hanya dapat duduk di atas tempat tidur dengan mata yang menatap ke luar kamar, menatap bintang-bintang yang bersinar di langit sana.

Sementara Aileen tertidur di sofa sejak tadi. Ghifara dapat melihat guratan wajahnya. Entah sejak kapan, wajah itu pun terlihat amat lelah.

"Ulangan gue gimana, ya?" ucap Ghifara tiba-tiba.

Ghafa yang awalnya sedang mengerjakan soal-soal latihan di sebelah Ghifara langsung mendongak. "Nggak usah pikirin ulangan dulu. Pikirin kesehatan lo aja."

Ghifara menarik napas panjang. Ia sedikit meringis saat melihat selang---yang entah apa itu namanya---masuk ke dalam tubuhnya. "Ini apaan, sih? Seram banget."

"Entah." Ghafa bergumam pelan. Ia menutup buku latihan soalnya dan meregangkan tubuhnya. Kedua manik matanya memperhatikan Ghifara. "Itu lo dibolongin gitu sakit nggak, sih?"

"Ngilu sedikit," jawab Ghifara singkat, "sumpah, dah. Ini nggak enak banget. Rasanya pengin gue tarik aja. Mana pasti biayanya mahal. Pasti bakal nyusahin Bunda nantinya."

Ghafa menatap Ghifara dengan heran. Laki-laki itu benar-benar banyak bicara malam ini. Di satu sisi, Ghafa merasa sebal mendengarnya. Tapi di sisi lainnya, ia merasa sedikit lega. Setidaknya ... kondisinya tidak separah itu 'kan?

"Ini kenapa katanya? Efusi?"

"Efusi pleura." Ghafa menimpali.

"Nah, iya itu. Namanya nggak jelas banget. Gue sampai nggak hafal sama sekali."

Lalu, Ghifara berhenti berbicara. Ia menarik napas panjang. "Gila, gue kayaknya nggak dibolehin ngoceh lagi. Gini aja udah sesak. Ribet emang jadi orang yang penyakitan."

"Tidur, gih." Ghafa berucap. "Dan ngomong-ngomong, besok Kinan sama Arzen mau ke sini."

Kedua kelopak mata Ghifara terbelalak. "Mereka tahu dari mana kalau gue lagi dirawat di sini?" tanyanya heran. Ia mengubah posisi bantal yang mengganjal pundaknya. Sesekali, Ghifara menguap.

"Gue yang ngasih tahu," jawab Ghafa santai. Ia bangkit dan membetulkan selimut Ghifara. "Gue tinggal, ya. Bilang ke Bunda gue pulang dulu."

"Hm, iya." Ghifara bergumam pelan. "Hati-hati. Kalau malam di sini banyak yang suka ngeganggu."

Ghafa bergidik, namun hanya sesaat. Lalu, senyum meremehkannya muncul. "Lo pikir gue takut, ha?"

***

"Lo kenapa kayaknya gugup banget, sih, hari ini?" Arzen bertanya heran. Ia menelengkan kepalanya, menatap Kinan yang tampak tak nyaman. Perempuan itu menyisipkan rambutnya ke belakang telinga, kebiasaannya jika sedang gugup.

"Hmmm, nggak tahu, nih," jawab Kinan pelan. Ia berhenti berjalan, lalu menarik napas panjang.

Arzen terkekeh geli. "Gaya lo kayak mau ketemu gebetan aja," godanya, "atau gara-gara lo masih merasa canggung sama status kita yang baru?"

Last SceneWhere stories live. Discover now