BAB 17

2.1K 204 5
                                    

Ghifara menatap sekelilingnya. Merasa aneh bahwa dirinya saat ini duduk seorang diri. Ghafa izin ke toilet sejak lima belas menit yang lalu, dan laki-laki itu belum kembali sampai sekarang.

Menghela napas, Ghifara menyenderkan tubuhnya. Dengan sebatang kentang goreng yang dimasukkan sebagiannya ke dalam mulut. Tanpa ada niatan untuk dimakan.

Lalu, ponsel milik Ghafa yang sejak tadi berada di atas meja bergetar. Layarnya menyala. Dan saat membaca kata 'Bunda' di layar, Ghifara segera mengambil benda itu. Ia mengusap layar, menjawab panggilan.

Ghifara mengunyah kentang gorengnya, dan menelannya. "Halo, Bun? Kenapa?"

"Ghaf ...."

"Bukan, aku Ghif---"

"Bunda udah di rumah sakit. Tinggal sedikit urusan lagi, dan Bunda bisa bawa jenazah Ayah pulang ke rumah Nenek---"

"A-apa, Bun?" Kedua kelopak mata Ghifara mengerjap, masih berusaha mencerna apa yang Aileen ucapkan barusan. "Bunda ngomong apa barusan? A-Ayah? A-apa?"

Tidak ada jawaban dari seberang sana. Hanya ada keheningan. Hingga akhirnya, suara lirih itu terdengar, memasuki indra pendengaran Ghifara.

"Maaf."

Ghifara membeku di tempatnya. Ia tidak bisa bereaksi sama sekali. Hingga kedua netra cokelatnya menangkap Ghafa berjalan dengan cepat ke arahnya.

"Kak ...." Ghifara ingin menangis, tapi tidak bisa. Ada rasa sesak dan rasa bersalah yang menekan dadanya kuat-kuat, terus menerus. Hingga akhirnya ia seolah lupa cara bernapas.

Dengan pandangannya yang memburam, Ghifara dapat melihat Ghafa berjongkok di hadapannya dengan kedua tangan laki-laki itu meremas pundaknya. Ia membisikkan kata-kata penenang, namun Ghifara tidak dapat mendengarnya dengan jelas.

Lalu, ketika rasa sesak itu semakin menjadi-jadi, Ghifara tidak dapat melakukan hal lain kecuali mencengkeram dadanya sendiri. Hingga rasa sesak itu mengambil alih lesadarannya.

Dan semuanya pun menggelap.

***

Kinan benar-benar merasa sendiri saat ini.

Meskipun saat ini Kinan sedang berada di café biasa, dengan cheese french fries dan cola float yang biasa, ditambah dengan hiruk pikuk café yang biasa, Kinan tidak bisa mengatakan bahwa perasaannya seperti biasanya saat ini. Karena sejujurnya, rasa kehilangan itu benar-benar membuat Kinan tidak dapat merasakan hal yang biasanya. Karena seseorang yang biasa ada di hidup Kinan diambil dengan paksa begitu saja.

Menghela napas, Kinan meraih sepotong kentang gorengnya. Secara perlahan ia memakannya. Tidak ada rasa yang biasanya. Semuanya hambar.

"Kinan?" Sebuah suara membuat Kinan mendongak. Ia menatap laki-laki jangkung yang berdiri di hadapannya dengan wajah cemas. Karena tadi Kinan meneleponnya dengan isak tangis, dan sekarang penampilan Kinan benar-benar mengenaskan. "Da apa?"

"Kak Arzen ...." Kinan membekap mulutnya. Tangisnya tidak bisa ditahan saat melihat laki-laki itu. Saat melihat kedua netranya yang bening.

Entah kenapa, Kinan malah menghubungi Arzen. Laki-laki itu mendadak menjadi seseorang yang biasa ada di hidup Kinan. Seseorang yang anehnya dan dalam waktu yang singkat, sudah menjadi salah satu yang terpercaya bagi Kinan.

Last SceneWhere stories live. Discover now