EPILOG

3.7K 191 26
                                    

"Kamu tahu apa yang paling aku takut, Nan?"

"Apa?"

"Masa depan."

***

Kinan menatap refleksi dirinya di cermin. Dengan lihai, ia mengucir rambut panjangnya. Lalu, setelah tampak sempurna, Kinan tersenyum tipis.

"Wah, cantiknya," puji Arzen yang sedari tadi duduk di atas ranjang Kinan. Ia sama sekali tidak bersikap heboh seperti biasanya. "Udah siap belum?"

Kinan lantas mengangguk pelan. Mau tidak mau, Kinan tetap harus datang. Meskipun rasanya benar-benar menyesakkan.

Setidaknya,

Kinan bisa melihat Ghifara untuk terakhir kalinya.

***

Bagi Kinan, hal yang menyakitkan adalah ditinggalkan. Kinan tidak ingin merasakan hal itu, dan selamanya akan tetap begitu. Namun, Kinan sadar, jika orang itu tak mau tetap tinggal, Kinan tidak bisa terus menahannya.

Percuma saja.

Kinan tidak pernah menyangka bahwa dua hari yang lalu adalah terakhir kalinya ia melihat senyum Ghifara. Terakhir kalinya ia menatap mata beriris cokelat terang itu. Terakhir kalinya Kinan mendengar suaranya.

Dan saat ini, Kinan terduduk di ruang tamu, tepat di rumah Ghifara. Di hadapannya, tubuh kaku laki-laki itu terbaring. Matanya terpejam damai. Suara orang mengaji terdengar secara terus-menerus, berulang-ulang.

Tepat dua minggu setelah transplantasi organ dilaksanakan, secara tak disangka-sangka, tubuh Ghifara mengalami penolakan terhadap jantung barunya. Bukan delapan puluh persen yang ia dapatkan. Pada akhirnya, nyawanya tak tertolong.

"Selamat ulang tahun, Ghif," ucap Arzen yang duduk di sebelah Kinan. Perempuan itu lantas menoleh. "Nggak nyangka, ya, ulang tahun lo kali ini dirayakan besar-besaran. Banyak orang yang datang, ngedoain lo. Teman-teman lo. Bahkan guru-guru galak di sekolah. Tapi ... kok, lo kayak nggak senang gitu, sih?"

Kinan mengusap punggung Arzen dengan lembut. "Sabar, Kak, sabar," ucap Kinan pelan, "jangan ngebuat Ghifara sedih di sana."

Arzen tersenyum lembut. "Iya, Dek. Pasti."

***

Aileen memasuki kamar Ghifara dan mengedarkan pandangannya ke sekitar. Kamar itu terasa sangat kosong setelah ditinggal pergi oleh pemiliknya untuk selamanya. Ia duduk di atas kasur, mengusapnya perlahan.

Lagi-lagi, setetes air mata mengalir dari sudut matanya. Lalu, Aileen membaringkan tubuhnya dan memeluk bantal. Menghirup aroma Ghifara yang masih tercium di kamar itu. Bertingkah seolah dirinya sedang memeluk anak kesayangannya itu.

Air mata Aileen mengalir semakin deras, membasahi pipinya. Baru saja berpisah dengan Ghifara, rasa rindu itu sudah membuncah di dadanya. Ingin rasanya Aileen bertemu laki-laki itu dan memeluknya, mencurahkan kerinduannya.

"Ghifara, Bunda kangen sama kamu," ucap Aileen pelan, yang langsung dibalas oleh keheningan kamar. Disusul oleh suara isakan Aileen. Dua orang yang paling ia sayang di hidupnya kini sudah pergi, meninggalkannya seorang diri. "Baru beberapa hari kamu nggak ada, dan Bunda udah pengin meluk kamu. Bunda nggak tahu harus apa lagi, Sayang."

Aileen menenggelamkan kepalanya di bantal dan kembali menangis. Selalu seperti itu semenjak Ghifara pergi. Biasanya, Aileen akan tertidur karena kelelahan. Dan keesokannya, ia menjalani hari tanpa semangat sama sekali. Salah satu alasannya untuk terus berjuang sudah diambil paksa darinya.

Terkadang, saat Aileen membuka pintu, ia berharap Ghifara menyambut dengan senyum manisnya. Memberikan ucapan selamat datang yang hangat. Mengembalikan energinya yang habis seharian ini. Aileen berharap ia masih dapat mendengar suara Ghifara, mendengarkan ceritanya. Melihatnya tertawa, makan di satu meja bersamanya, atau hanya sekadar mengganggunya ketika ia sedang menonton televisi.

Namun, kenyataan kembali menamparnya dengan keras. Tidak ada lagi senyum dan sapaan hangat saat Aileen membuka pintu. Hanya ada keheningan. Memang, terkadang Ghafa menyambutnya. Tapi tetap saja, laki-laki itu tidak dapat menggantikan Ghifara.

Kadang kala, saat Aileen membuka pintu kamar Ghifara di tengah malam, ketika kerinduan itu kembali menyiksanya, Aileen berharap dapat melihat laki-laki itu. Menyaksikan wajah damainya saat sedang terlelap. Merapikan selimutnya.

Aileen bangkit. Matanya menelusuri setiap bingkai yang ada di atas nakas. Foto-foto Ghifara terpajang di sana. Perlahan, ia mengambil salah satu bingkai dengan foto Ghifara saat masih kecil, dan memeluknya dengan erat.

Sayang, makasih ya, udah mau jadi anak Bunda. Makasih karena kehadiran kamu, hidup Bunda jadi lebih indah. Makasih karena udah ngizinin Bunda ngerasain jadi seorang ibu dari anak sehebat kamu.

Bunda sayang kamu, Ghifara.

Selamanya.

*****

Author's note yang terakhir.

1. Awalnya, aku ngetik ini pas tiba-tiba kepikiran untuk membuat cerita tentang 'dia', Ghifara di dunia nyata.

2. Cerita ini murni karangan, walaupun ada beberapa bagian yang emang 'pernah' ada, salah satunya adalah Ghifara, Ghafari, dan Arzen.

3. Sebenarnya aku mau bikin agak panjang, dan tanggal kematian Ghifara aku samain sama yang asli, tapi mager. Hehe.

4. Mau di sini atau di dunia nyata, Ghifara itu sama-sama bodoh (eh, atau setia, ya, masuknya?)

5. Kalian harus tahu kalau Kinan di dunia nyata itu lebih parah daripada di sini.

6. Aku ngetik ini ngebut karena tanggal 21 besok udah masuk.

7. Aku lagi nonton anime, pemerannya mati, lah di sini juga mati. Double.

8. Udah, dan bye-bye!

Promosi

Cek di akun aku! Makasih.

Last SceneWhere stories live. Discover now