BAB 4

3.4K 305 30
                                    

"Nan, lo ke masjid sendiri aja nggak apa-apa 'kan? Gue lagi nggak salat," ucap Nafissa tiba-tiba. Membuat Kinan secara mendadak menghentikan aktivitasnya. Kelopak matanya melebar kaget.

"Eh? O-oh, oke," balas Kinan singkat. Ia menyimpan buku-buku pelajarannya di dalam laci meja, mengambil mukenanya di dalam tas, kemudian bangkit. Setelah merapikan rok abu-abunya, Kinan berjalan ke luar kelas. Dan saat baru membuka pintu, Kinan sudah dikejutkan oleh sosok Ghafa yang bersandar di dinding depan kelas. Senyum laki-laki itu mengembang saat melihat Kinan.

Tangan kanan Ghafa terangkat. "Hai, Naz," sapanya. Ia menegakkan tubuhnya dan menghampiri Kinan.

Senyum Kinan terbit. Ia dapat merasakan detak jantungnya yang berdetak cepat saat berada di dekat Ghafa. Meskipun saat ini keadaan koridor sedang ramai, namun saat Kinan menatap manik madu milik Ghafa, sekitarnya mendadak senyap. Seolah, hanya dirinya dan Ghafa yang berada di sana.

"Eh, Kak." Kinan refleks menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga, salah satu kebiasaannya saat sedang gugup. "Kenapa?"

Ayolah, Kinan, bersikap biasa aja. Tarik napas, embuskan. Tarik napas, embuskan.

"Kamu udah makan—" Ghafa menghentikan ucapannya saat melihat mukena yang ada di tangan Kinan. Ia tersenyum tipis sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan, "baru mau salat, ya?"

Kinan mengangguk pelan. Kedua tangannya mencengkeram erat mukena miliknya. Kinan gugup. Kinan benar-benar gugup.

Padahal, Kinan sudah sering bertemu dengan Ghafa. Sudah sering berhadapan dengan laki-laki beriris madu itu. Seharunya, Kinan sudah dapat bersikap biasa 'kan?

"Hm ... yaudah, deh. Nanti, kalau udah selesai salat, aku balik lagi." Ghafa tersenyum lebar hingga matanya menyipit.

"O-oke, Kak." Kinan ikut tersenyum.

Setelah menepuk pundak Kinan perlahan, Ghafa berlalu. Meninggalkan Kinan yang masih berusaha mengatur detak jantungnya. Hingga ia tidak dapat menahan senyumnya.

Selalu, Ghafa dapat menjadi alasan Kinan untuk tersenyum.

***

Suasana mendadak hening. Setelah Ghifara mengucapkan kalimat terakhirnya, Arzen sama sekali tidak dapat menjawab. Ucapan Ghifara benar-benar membuat Arzen membeku.

"Lo paham 'kan maksud gue?" Ghifara bertanya. "Gue cuma nggak mau lo menyesal nantinya."

Lalu, Arzen tertawa. Masih saja meremehkan ucapan Ghifara. "Kenapa lo pesimis banget, sih, Ghif? Hidup itu dinikmatin aja."

Ghifara lantas tersenyum miris. "Sekarang, gantian gue yang ngomong, lo gampang ngomong begitu karena lo nggak ada di posisi gue. Coba kalau lo jadi gue, berjuang cuma buat hidup setiap harinya."

Arzen ingin membalas, namun suaranya tidak keluar sama sekali. Saat mendengar suara Ghifara yang terdengar bergetar, Arzen tahu, ia sudah salah bicara.

"Ghif, maaf," ucap Arzen menyesal.

Ghifara tersenyum tipis. "Nggak apa-apa," balas Ghifara santai. Ia bangkit dari ranjangnya, kemudian menarik bangku yang ada di sebelah meja belajar, berpindah posisi ke sebelah Arzen. "Lagi main apaan?"

"The Sims, lagi bikin anak," jawab Arzen. Ia nyengir lebar, sementara Ghifara bergidik. "Kali ini hamil nggak, ya?"

"Kerjaan lo kalau main The Sims cuma bikin anak, ya?" tuduh Ghifara. Ia menatap sinis ke arah Arzen.

"Sembarangan!" Arzen menjitak kepala Ghifara perlahan. "Gue juga kerja, nyari duit buat keluarga. Mana anak gue ada yang masih balita. Kebutuhannya banyak."

Last SceneWhere stories live. Discover now