BAB 23

2.4K 173 17
                                    

Setelah seharian ini berkutat dengan soal-soal ujian, Kinan akhirnya berpikir untuk menenangkan diri sejenak. Dan tujuannya sore hari ini adalah Ghifara. Lagi pula, sudah lima hari ini ia tidak bertemu dengan laki-laki itu, setelah pertemuan terakhirnya di hari Minggu.

Saat membuka pintu ruang rawat, hal pertama yang ia dapati adalah keberadaan Ghifara di atas ranjang, seorang diri. Lalu, yang kedua adalah senyuman laki-laki itu saat melihat Kinan. Dan yang ketiga adalah wajah pucatnya.

Perlahan, Kinan memasuki ruang rawat. Ia menarik sebuah bangku dan duduk di sebelah Ghifara. Dari jarak sedekat ini, Kinan dapat menangkap kedua mata Ghifara yang tampak sayu.

"Hei, Nan," sapa Ghifara. Suaranya terdengar lirih. "Lo sendiri?"

"Hm." Kinan bergumam pelan. "Lo kenapa sendiri? Bunda lo mana?"

Ghifara tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, "tadi Bunda bilang mau nyari makan dulu, sih." Senyumnya yang menenangkan terbit. "Jangan pulang cepat-cepat, ya, Nan. Tunggu Bunda dulu. Gue mau ngenalin lo ke Bunda sebagai salah satu penyemangat gue."

Kinan lantas membuang pandangannya, menutupi wajahnya yang memerah. "Apaan, sih? Nggak jelas, deh."

Ghifara tertawa geli. Ia meraih tangan Kinan dan menggenggamnya dengan erat. Perempuan itu lantas menyernyit saat merasakan tangan Ghifara yang sedikit dingin.

"Mau jalan-jalan ke taman nggak? Lo harus liat taman di rumah sakit ini. Bagus soalnya, apalagi sore-sore begini. Ada air mancurnya juga," ucap Ghifara.

Kini, gantian Kinan yang tertawa geli. "Iya, boleh."

Ghifara hendak menurunkan kedua kakinya, namun Kinan malah mencegahnya. "Lo mau jalan kaki gitu? Emangnya kuat?" tanya Kinan skeptis.

Tersenyum malu, Ghifara menunjuk sebuah kursi roda yang ada di dekat sofa. "Sebenarnya dari kemaren gue kalau jalan ke taman pakai itu, tapi 'kan ada Bunda yang ngedorongin. Lah, sekarang aja Bunda lagi beli makan. Masa lo yang ngedorongin. Lo 'kan perempuan."

"Emang bunda lo bukan perempuan?" Kinan merotasikan kedua bola matanya dan bangkit. Ia berderap menuju kursi roda yang Ghifara maksud berada, dan mendorongnya mendekati ranjang. Setelah mengunci roda, Kinan berdiri si sebelah Ghifara. "Sini gue bantu."

"Nggak usah, gue bisa sendiri." Ghifara menolak. Ia menurunkan kedua kakinya dan melangkah menuju kursi roda, hingga akhirnya duduk di sana. "Padahal gue masih kuat, lho, kalau jalan dikit-dikit."

"Udah, nggak usah banyak tingkah." Kinan membuka kunci pada roda, kemudian mulai mendorongnya. Walaupun harus Kinan akui, tubuh Ghifara yang kurus ternyata berat juga.

Suasana hening di antara mereka. Kinan sibuk mendorong kursi roda, sementara Ghifara sedari tadi pun tidak bersuara, seolah tenggelam dalam pikirannya. Entah apa yang yang sedang laki-laki itu pikirkan, Kinan tidak tahu.

"Ghif, ini ke mana?"

Hingga akhirnya suara Kinan memecahkan keheningan.

"A-apa?"

"Arahnya ke mana?" tanya Kinan sekali lagi.

"Kanan," jawab Ghifara singkat. Ia menolehkan kepalanya, berusaha melihat Kinan, namun gagal. Akhirnya, ia hanya menatap lurus ke depan saat berkata, "gue berat, ya, Nan?"

Kinan tertawa. "Apaan? Badan kurus begini. Beratan juga gue," balas Kinan. Ia memelankan langkahnya saat sampai di tempat yang ia tuju; taman rumah sakit.

Memperhatikan sekitar, Ghifara berkata, "wah, lagi sepi. Tumben."

Setelah mengunci roda, Kinan berdiri di hadapan Ghifara, lalu menyejajarkan tubuhnya. Kedua mata bulatnya bersitatap dengan iris cokelat milik Ghifara.

"Lo pucat banget sore ini. Lebih pucat daripada biasanya." Kinan berkomentar. "Lo kenapa?"

"Gimana tadi ujiannya? Susah nggak?" Ghifara mengalihkan pembicaraan, Kinan tahu itu. "Sayang banget gue harus ikut susulan. Pasti soalnya lebih---"

"Gue nggak suka lo ngalihin pembicaraan," potong Kinan cepat.

Ghifara membuang pandangannya. "Gue nggak suka lo merhatiin gue sedetail itu."

Menarik napas panjang, Kinan meraih tangan Ghifara, dan digenggamnya erat. "Lo tahu, Ghif, lo bisa jujur ke gue. Soal apapun itu."

"Tugas gue di dunia ini ... udah hampir selesai, ya, Nan?" Ghifara berucap lirih. Ia menatap Kinan lekat-lekat dengan kedua bola matanya yang dilapisi cairan bening. "Sekarang ... lo udah bahagia 'kan?"

"Lo ngomong apaan, sih?" Kinan tertawa renyah.

Ghifara menghela napas panjang. Ia menarik tangannya dan genggaman Kinan, lalu menepuk puncak kepala Kinan lembut, dan membiarkan tangannya di sana. Senyum tipisnya terbit.

"Sekarang udah ada Arzen yang bisa ngebuat lo bahagia 'kan?" Ghifara balik bertanya. "Kalau gitu, gue bisa lebih tenang. Seenggaknya gue tahu, Arzen nggak bakal ngebuat lo sedih. Gue percaya sama dia."

Kinan menggeleng cepat. Ia menepis tangan Ghifara yang ada di puncak kepalanya. "Terus, kalau gue bahagia juga sama dia, lo mau apa? Mau pergi?"

Suasana mendadak hening, hingga akhirnya Ghifara menjawab, "iya." Jawaban itu singkat, namun cukup membuat sebagian dari dunia yang Kinan miliki hancur. Kedua manik matanya berkaca-kaca. Hanya sesaat, karena setelah itu, setetes air mata mengalir dari sudut matanya.

"Nggak mau." Kinan menegakkan tubuhnya. "Gue nggak mau."

"Nan ...." Ghifara meraih tangan Kinan. "Gue sayang sama lo. Gue nggak mau lo sedih. Tolong, jangan begini. Gue nggak suka."

"Kalau nggak mau gue sedih, jangan pergi!" teriak Kinan frustrasi. Tubuhnya meluruh. "Udah cukup Kak Dhia ninggalin gue. Lo jangan. Gue nggak mau ditinggalin lagi. Tolong, Ghif, gue nggak mau."

Ghifara bangkit dari kursi rodanya, lalu berlutut di hadapan Kinan. Kedua tangannya memegang pundak perempuan itu. "Nan, lo udah dapat akhir yang bahagia 'kan?"

Kinan menggeleng. "Nggak bakal kalau nggak ada lo."

Ghifara menghela napas panjang. "Nan, gue cuma minta satu hal."

"A-pa?"

"Tolong ... lepasin gue."

***

Ketika mendengar suara ponsel yang berbunyi nyaring di atas nakas, Kinan lantas membuka matanya. Ia menatap langit-langit kamar dan mengusap kedua matanya. Lalu, ia mengambil ponsel yang kini sudah tidak berbunyi lagi.

Kinan membuka notification bar. Satu panggilan tak terjawab, dan itu adalah panggilan dari Ghafa.

Kembali meletakkan ponselnya di atas nakas, Kinan menarik napas panjang. Mimpinya barusan terasa sangat nyata. Dan hal itu malah membuat dada Kinan terasa sesak. Entah bagaimana jadinya jika itu semua bukanlah mimpi. Kinan tidak pernah berharap berada di situasi seperti itu.

"Lo nggak bakal ninggalin gue kayak Kak Dhia 'kan? Lo bakal selamanya ada di samping gue 'kan?" gumam Kinan pelan. Ia memeluk gulingnya erat-erat. "Gue bakal benci sama lo kalau lo berani ninggalin gue, Ghif. Sumpah, gue bakal benci banget sama lo."

Gumaman Kinan dihentikan oleh ponselnya yang lagi-lagi berbunyi nyaring. Segera saja, Kinan mengambil benda itu dan membaca nama yang tertera di layar. Lagi-lagi Ghafa.

Kinan mengusap layar, menjawab panggilan. Lalu, ia dekatkan ponselnya ke telinga.

"Syahnaz ...."

Kinan menyernyit heran. "Iya, Kak? Kenapa?"

"Itu ... Ghifara ...."

Napas Kinan tercekat. "A-apa, Kak?"

*****

Tuberculosis.

Yha, apaan, sih?

To be continued.

Last SceneWhere stories live. Discover now