BAB 19

2.2K 223 7
                                    

Hari ini, Ghifara sudah diperbolehkan kembali ke sekolah. Dengan semangat ia memakan sarapannya. Walaupun justru mendapat tatapan aneh dari Ghafa dan Aileen, ia tidak peduli.

Ngomong-ngomong, suasana di rumah ini sudah kembali seperti semula. Meskipun ada satu bangku kosong, toh, Ghifara sudah terbiasa. Dan saat ini, ia hanya ingin kembali bersikap bahagia. Seolah hari ini adalah hari terakhirnya.

Dan saat ini, Ghifara sedang berjalan di sebelah Ghafa, melewati koridor sekolahnya. Sesekali, ia berhenti berjalan dan menyapa teman-temannya. Sesekali menjawab pertanyaan tentang ke mana laki-laki itu pergi kemarin-kemarin, yang hanya dijawabnya dengan senyuman lebar. Dan sebagian besar pasti sudah mengetahui alasannya.

Jangan kira Ghifara menyembunyikan kondisi kesehatannya. Lagipula, tidak ada gunanya. Toh, itu juga bukan aib yang harus ditutupi. Meskipun harus Ghifara akui, agak menyakitkan, sih, jika berbicara mengenai itu.

Lalu, kedua tungkai Ghifara berhenti melangkah saat melihat Kinan berdiri tak jauh darinya. Kedua iris cokelatnya berbinar lembut. Ia kembali melangkahkan kakinya, setelah menepuk pundak Ghafa dua kali, menghampiri perempuan itu.

Entah sudah berapa lama mereka berdua tidak bertemu.

Ketika Ghifara berhenti tepat di depan Kinan dengan senyum terbaiknya, perempuan itu tampak sedikit terkejut. Ia menatap Ghifara. Tetapi, tatapannya tampak tidak seperti biasanya. Tidak ada lagi tatapan penuh kehangatan.

Berusaha menampik hal itu, Ghifara akhirnya menyapa, "hai."

"Hei."

"Apa kabar?"

"Baik."

Ghifara berdeham pelan. Ia mengusap tengkuknya, gugup. Entah apa yang terjadi, namun saat ini Ghifara benar-benar merasa canggung di hadapan Kinan. Perempuan itu bahkan tidak balik bertanya.

"Oh, gitu." Ghifara nyengir lebar, berusaha menutupi kecanggungannya.

"Iya."

Krik, krik.

"Ummm ... lo tadi berangkat sama siapa, Nan?" tanya Ghifara pada akhirnya, berusaha untuk mempertahankan obrolan tidak efektif mereka pagi ini.

"Sama Kak Arzen," jawab Kinan. Ia bahkan tidak menatap Ghifara. "Gue ke kelas duluan."

Kemudian Kinan berlalu begitu saja. Meninggalkan Ghifara yang membeku di tempatnya. Hingga akhirnya laki-laki itu tersadar, dan menyusul Kinan.

"Tunggu, tunggu." Kinan berhenti berjalan dan menoleh. "Lo bareng Arzen? Kenapa nggak chat gue?"

Kinan tertawa hambar. "Chat lo? Pesan gue yang lama aja nggak pernah lo baca." Ia menatap Ghifara tajam. "Lo selama ini ke mana aja? Di saat gue butuh lo, tapi lo nggak pernah ada."

"Tapi kenapa harus Arzen? Kenapa nggak yang lain?"

"Emang kenapa?" Kinan balik bertanya. "Selama ini yang ada tanpa gue minta siapa kalau bukan Kak Arzen? Sementara lo? Ngebalas pesan gue aja enggak. Mana katanya sahabat? Nggak ada orang yang ninggalin sahabatnya sendiri tanpa ngomong apa-apa."

Kinan memperhatikan sekitar saat sadar dirinya sudah menjadi tontonan murid-murid yang sengaja berhenti saat melewatinya. Wajahnya lantas memerah. Lalu, ia kembali menatap Ghifara. Singkat. Dan tanpa aba-aba, ia membalik tubuhnya dan berjalan menjauh. 

Sementara Ghifara hanya diam. Otaknya memutar kalimat yang Kinan ucapkan. Berulang-ulang.

Nggak ada orang yang ninggalin sahabatnya sendiri ....

Last SceneWhere stories live. Discover now