BAB 13

2.3K 234 9
                                    

"Salah nggak, sih, kalau gue cemburu?"

Naira yang sedang sibuk dengan sfigmomanometer-nya langsung menoleh dengan alis tertaut. "Ha?"

Ghifara memutar kedua bola matanya. "Salah nggak, kalau gue cemburu sama sahabat gue sendiri?" Ia mengulang pertanyaannya.

"Nggak salah, sih," jawab Naira singkat. Ia merapikan peralatannya, lalu berdeham. Kedua manik mata Naira menatap iris cokelat Ghifara yang sinarnya tampak meredup. Seolah, ada yang mengambilnya. Dan Naira tidak pernah menyukai hal semacam itu. "Tapi, yah, jangan sampai nyerah juga, sih, cuma karena satu cewek yang belum tentu peduli sama lo. Di hidup lo nggak hanya dia semata 'kan?"

Naira menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi dan menarik napas panjang. "Capek banget gue hari ini," keluhnya, sekaligus mengalihkan pembicaraan, "kadang gue pengin, deh, ada di posisi orang lain. Kayaknya santai banget."

"Ya 'kan itu luarnya. Lo nggak pernah liat dia dalamnya gimana 'kan?" balas Ghifara acuh tak acuh, "sama aja kayak lo nge-judge orang lain cuma dari sudut pandang lo."

"Iya, sih, ya." Naira bergumam pelan. "Malam ini lo udah boleh pulang? Yah, nggak ada yang bisa gue gangguin, dong, kalau malam-malam."

"Lebih tepatnya, nggak ada lagi pasien seganteng gue di sini." Ghifara memainkan kedua alisnya menggoda. Lalu, ia menyugar rambutnya yang sedikit lepek karena beberapa hari ini belum keramas. Ghifara pun menyernyit. "Uh, rambut gue. Pokoknya pas sampai rumah, gue harus langsung mandi."

Naira lantas terkekeh. Jarang-jarang ia mendapat pasien yang umurnya tidak jauh beda dengannya. Kalau tidak sudah tua, pasti masih anak-anak, bahkan lebih kecil lagi. Sehingga, Naira jarang bisa mengobrol sesantai ini dengan pasiennya.

"Yaudahlah." Naira bangkit. Gue balik dulu ke nurse station. Kalau ada apa-apa, tinggal pencet tombolnya aja."

"Iya."

Naira diam sejenak. Ia menatap Ghifara, tepat di mata. Lalu, Naira menggeleng dan segera berjalan ke luar ruangan.

***

Ketika melihat dua mobil yang Kinan ketahui sebagai milik orang tuanya, perempuan itu segera membuka pintu rumah. Tanpa melepas kaus kakinya, Kinan masuk ke dalam. Senyumnya terbit saat melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tamu.

Segera saja, Kinan berjalan cepat menghampiri kedua orang tuanya, lalu memeluk Jihan agak lama. Entah sudah berapa lama ia tidak betemu dengan keduanya. Walaupun rencana perceraian itu cukup membuatnya bersedih dalam jangka yang cukup lama, Kinan akui ia juga rindu dengan orang tuanya.

Kinan melepas pelukan Jihan, lalu menatap wajah lelah pria yang masih duduk di sofa. Ia tersenyum saat melihat sang papa tersenyum sendu. Untuk saat ini, meskipun Dhia tidak berada di sini, Kinan sudah merasa bahagia. Berkumpul dengan kedua orang tuanya adalah salah satu hal yang Kinan inginkan. 

Jihan melepaskan tas milik Kinan dan meletakkannya di sebelah sofa. Kemudian ia menggiring anak bungsunya itu udah duduk, di antara dirinya dan suaminya. Seolah, keluarga itu sudah benar-benar hancur.

Kedua lengan Kinan melingkar di pinggang Jihan, sementara kepalanya ditumpukan di pundak wanita itu. Entah sudah berapa lama Kinan tidak bisa bersikap manja, dirinya sampai lupa. "Kinan kangen sama Mama, sama Papa juga," ucap Kinan, "kenapa nggak pulang dari kemarin? Kinan kesepian."

"Maaf, ya, Sayang. Banyak hal yang harus diurus," jawab Devlyn, papanya. Ia mengusap puncak kepala Kinan lembut.

Kinan menatap Devlyn dengan alis tertaut. "Terus, sekarang udah nggak sibuk lagi?" tanya Kinan penuh harap.

Perlahan, Jihan menggeleng. "Kinan ikut Mama, ya."

Kinan melepaskan pelukannya pada Jihan. Matanya menatap Jihan tak mengerti. "Maksud Mama apa?" Suaranya terdengan bergetar. Ia terdiam. Hingga akhirnya, Kinan tersadar. Kedua kelopak matanya melebar. Kemudian, Kinan menggeleng cepat. "Nggak mau." Kinan bergumam pelan. "Kinan nggak mau."

"Kinan ...." 

Jihan meraih bahu Kinan. Namun, anaknya itu malah menahannya. Ia bangkit dari sofa, menatap kedua orang tuanya dengan tatapan terluka. Manik matanya tampak berkaca-kaca. Hingga akhirnya, setetes air mengalir dari sudut matanya. 

"Kalau emang Mama sama Papa pulang cuma buat ngomongin hal itu, mending nggak usah pulang sekalian!"

***

"Kenapa semuanya harus ikut jemput aku, sih?" tanya Ghifara risi. Ia menatap ketiga orang yang berdiri di hadapannya. Setengah dirinya heran. Namun setengahnya lagi justru berusaha menahan urgensinya untuk mengabadikan momen ini. Maklum, jarang-jarang keluarganya berkumpul.

"Ya emang kenapa?" balas Aileen. Ia memeluk lengan Ghifara, membuat laki-laki itu mendengkus keras. "Sekalian merayakan kesembuhan kamu."

Ghifara memutar kedua bola matanya. "Aku 'kan nggak bisa seratus persen sembuh. Nggak usah berlebihan. Nanti akhir-akhirnya kecewa," balas Ghifara santai. Meskipun sebenarnya berat untuk mengucapkan kalimat itu. Tapi, toh, itu memang kebenarannya.

Ghafa bersedekap. "Coba sekali-kali positive thinking. Kalau lo gitu terus, ya gimana bisa sembuh?"

"Nah, dengar apa kata Kak Ghafa." Gavriel menimpali. Ia merangkul Ghafa, lalu terkekeh pelan. Sejujurnya, terkadang ia suka mengganggu Ghifara. Mungkin karena mereka memang jarang bertemu dan tidak memiliki banyak momen bersama.

"Kenapa, sih, selalu Kak Ghafa yang dibela? Ucapanku 'kan juga benar." Ghifara berjalan terlebih dahulu. Aileen berjalan di sebelahnya. Sementara Ghafa dan Gavriel berjalan di belakangnya dengan menenteng sebuah tas besar.

Ghifara hanya diam selama berjalan melewati lorong rumah sakit. Bahkan, ketika Aileen berbicara padanya saja, ia tak juga membuka suara. Meskipun merasa senang karena keluarganya berkumpul, ia juga merasakan sedikit kesedihan di hatinya.

Entah berapa lama lagi Ghifara dapat merasakan ini semua. Ketika memikirkan tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, di mana suatu hari nanti momen seperti ini tidak akan pernah terulang lagi, rasanya Ghifara ingin menghentikan waktu.

"Kamu kenapa ngelamun?"

Tanpa Ghifara sadari, ia sudah berada di lobi. Aileen berdiri di hadapannya, memperhatikan Ghifara dengan mata yang serupa dengan milik laki-laki itu. Lantas, Ghifara menggeleng pelan dan tersenyum, dengan senyum hangatnya yang biasa.

"Cuma lagi senang aja," jawab Ghifara, "aku kangen rumah. Kangen kasur empuk."

"Ya, makanya jangan banyak tingkah," timpal Aileen, "dengerin apa kata Bunda. Jangan ngelawan."

"Siapa juga yang ngelawan," balas Ghifara, "badan aku aja yang manja. Banyak tingkah."

Aileen sedikit berjinjit dan menjawil hidung Ghifara. Lalu, tangannya beralih, mengusap rambut Ghifara dengan lembut. Senyumnya pun terbit. Mendadak, kedua manik mata Aileen berkaca-kaca. Entah sampai kapan ia dapat melakukan hal sepeti ini, dirinya sendiri tak pernah tahu.

"Lho? Bunda kenapa nangis?" tanya Ghifara tiba-tiba. Aileen sontak mengerjapkan matanya. Ia merasakan Ghifara mengusap sudut matanya dengan lembut. "Jangan nangis, dong. Aku nggak suka ngeliat Bunda nangis."

Ghifara terdiam sejenak. "Kalau cuma gara-gara gini aja Bunda nangis, gimana kalau aku meninggal nanti? Padahal, aku butuh doa dari Bunda, bukan air mata Bunda. Aku nggak mau Bunda sedih terus kayak gini."

*****

A/n

Mau tidur, tapi ga bisa.

Bye!

Last SceneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang