BAB 9

2.9K 231 16
                                    

Dengan tidak semangat, Kinan membuka-buka buku matematikanya. Inginnya ke halaman 97, tapi malah ke halaman 207. Sejujurnya, Kinan sedang tidak bersemangat hari ini. Ditambah lagi, Kinan tidak pernah suka pelajaran hitung-hitungan yang---jika Kinan perhatikan---makin lama makin tidak jelas.

Oh, satu tambahan lagi. Setengah dari pikiran Kinan terfokus pada Ghifara. Entah bagaimana keadaan laki-laki itu saat ini, Kinan tidak tahu. Ia ingin bertanya pada Ghafa, tapi rasa bersalah justru menghantuinya.

Orang yang menyebabkan keadaan Ghifara memburuk adalah Kinan 'kan?

Ketika seseorang meletakkan sebotol air mineral di hadapan Kinan, ia mengerjapkan matanya. Sesaat, Kinan menatap air mineral itu, kemudian mendongakkan kepalanya, menatap si pelaku. Dan kelopak mata Kinan melebar.

Arzen berdiri di sana, dengan senyum hangatnya yang biasa. Kinan jadi teringat dengan tatapan tajam dan ucapan Arzen yang menyakiti hatinya kemarin.

"Halo, Kinan," sapa Arzen. Ia duduk di depan Kinan, menghadap ke arah perempuan itu. "Pa kabar?"

Apa Kak Arzen udah lupa masalah kemarin? Tapi ... masa iya, sih?

Kinan yang masih sedikit terkejut lantas mengerjap. Ia berdeham pelan. "Kak Arzen, ngapain di sini?" tanya Kinan, "Bukannya seharusnya Kakak ke masjid? Udah jam ishoma, lho."

"Nah, iya. Gue mau ngajak lo," jawab Arzen santai.

Kinan menatap Arzen aneh, kemudian tertawa pelan. "Apaan, sih, Kak? Nggak jelas, deh."

"Eh, gue serius ini." Arzen tersenyum lebar, penuh percaya diri. "Gue yakin lo lagi sedih karena ditinggal sama teman lo 'kan? Makanya lo malah diam di sini sendiri, nunggu ada orang yang ngejemput lo."

Kali ini, Kinan benar-benar tertawa. Kenapa laki-laki di hadapannya ini bisa sangat percaya diri? Jelas-jelas ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Lah? Lo kenapa ketawa?" Alis Arzen tertaut. Ia menatap heran ke arah Kinan. Bisa saja perempuan ini tiba-tiba kerasukan 'kan? Arzen jadi takut.

Kinan tidak juga berhenti tertawa. Sampai-sampai, wajahnya memerah. Di sela tawanya, Kinan berkata, "sumpah, lo orang paling percaya diri yang pernah gue temuin."

Arzen makin tidak mengerti. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Apaan, sih? Kok gue nggak paham?"

Sekali lagi, Kinan berdeham setelah ia berhasil mengontrol tawanya. "Lupakan," balas Kinan. Ia menatap Arzen, tepat di matanya. Untuk sejenak membuat laki-laki bermata hitam legam itu salah tingkah.

"Lo udah nggak marah sama gue, Kak?" tanya Kinan hati-hati.

Arzen meminum air mineralnya. "Marah kenapa? Gue nggak pernah marah sama lo," jawab Arzen santai, "kapan gue marah sama lo, sih? Gue 'kan sayang sama lo. Masa marah."

"Kak, serius." Nada suara Kinan terdengar datar. Kadang kesal juga saat mendengar ocehan Arzen yang tidak bermutu. Dan sekarang Kinan tahu mengapa Ghifara suka sekali menjitak laki-laki itu.

Ah, lagi-lagi Kinan teringat dengan Ghifara. Padahal, baru sehari ini ia tidak masuk sekolah, dan Kinan sudah merindukannya. Kadang ia dapat membuat keadaan Kinan lebih baik. Atau setidaknya, dapat membuat Kinan melupakan masalahnya.

"Hei, lo kenapa ngelamun? Mikirin gue, ya?" Senyum Arzen tampak lebar. "Gue tahu gue emang ganteng, tapi nggak usah dipikirin juga. Gue 'kan ada di depan lo."

"Dasar."


***


"Mau jalan-jalan."

Last SceneWhere stories live. Discover now