Ayam Goreng

188 62 50
                                    

Sabtu, 7 Mei 2000
Setelah Bunda pulang, aku jadi makin senang. Tadi siang setelah main ke rumah Ani, aku makan bareng lagi dengan Ayah dan bunda. Kata Bunda, Ayah lagi dipaksa belajar masak. Terus aku makan ayam goreng buatan Ayah. Rasanya sama dengan buatan Bunda, cuman ada gosong sedikit, Ayah malah bilang itu rasa kopi hahahaha.

Aku pengen masak juga bareng Bunda. Cuman Bunda bilang nanti aja, takut Asya kena api. Sekarang bunda lagi ngajar Ayah. Oh iya kak, Bunda juga udah lepas infusnya dan tadi gak pake kursi roda. Tapi tangan Bunda dingin banget pas aku salim. Terus bibir Bunda agak putih. Pas aku tanya kenapa, Bunda cuma senyum.

Catatan : Ayah ama Bunda mirip orang pacaran, kayak kakak kelas pas istirahat, cuman Aku ceritain begitu ke bunda, Bunda malah ketok kepalaku, hehehe

***

"Ayah itu masakannya gosong, cepet diangkat."

"Iya Bunda, ini kok tiba-tiba mau ngajarin masak ada apa toh?"

"Udah yang, mikir dulu ayamnya."

Riuh gaduh antar perang sendok dan wajan di dapur kecil dalam rumah. Ardi yang ikut kelas memasak dadakan meloncat-meloncat, menghindari lompatan minyak panas. Dan Halimah hanya tertawa melihat tingkah suaminya.

Meskipun ardi tau istrinya masih pucat dan diwajibkan untuk istirahat yang banyak. Ia tidak ingin terasa mengekang, biarkan waktu mesra mereka yang seakan tertunda di rumah sakit kini disaksikan alat masak.

"Taraaa... ayam goreng buatan Ayah, resep dari Bunda tercantik," ucapnya sambil menyajikan sepiring ayam goreng dua warna, hitam dan coklat keemasan.

Halimah menepuk tangannya. "ya... sayangnya ada gosong nih." ia membalikkan beberapa ayam goreng.

"Udah bilang ke Asya, itu rasa kopi." istrinya tertawa, begitu juga ia.

Halimah berdiri dari kursi rodanya. Lelaki di depannya otomatis memapah langkah sang istri. Senyuman hangat terpancar dari ia, dari bibir pucat itu.

"Bunda memang sudah baikkan? Kalau nggak kita istirahat dulu, mau?"

"Udah, Bunda sudah baikkan, yuk bikin kopi tubruk kesukaanmu, ngobrol di depan," balasnya menghilangkan kerutan khawatir di wajah ardi.

"Yuk, udah lama juga bunda." tuntun ia ke arah meja dapur. Membuat minuman favorit Ardi dan sang istri.

***

Semilir angin berhembus sejuk, menambah nyaman dua orang yang kini menikmati hijaunya halaman. Halimah yang masih melihat ke arah gerbang, menunggu Asya pulang dari temannya kini bersandar di bahu Ardi.

Ardi pun sama, merekatkan tanganya ke bahu sang istri. Masing-masing dari mereka punya cara tersendiri menikmati momen berdua. Namun, tidak dalam pikiran akan masalah yang sama.

"Ayah harus belajar masak, supaya kalau Bunda nggak ada, bisa masakkin buat Asya, masa Ibu terus yang masak." halimah menyeruput kopi tubruk hangat, bayang-bayang rindang pohon menaungi wajahnya.

Ardi mengusap kepala Halimah yang tertutup jilbab, "memangnya Bunda mau kemana? Udah cukup bunda ninggalin sebulan, jangan pergi lagi ya?"

Tetes air mata mengalir tanpa diminta pada pipi Halimah, ardi seakan bingung arti air mata itu. "lah Bunda nangis, bunda kenapa?"

"Nggak, Bunda merasa bersalah udah ninggalin Ayah." usap ia pada air mata, Halimah sadar ia tidak ingin Ardi khawatir lagi.

Ardi kembali merangkul Halimah, menggumamkan lagu yang dulu pasangan itu dengar bersama. Diikuti oleh istrinya yang masih sembab dengan tangisan kecil tadi.

"Lagu pas ketemu di perpus kampus, ya kan bunda?"

"He'em, tau-taunya malah jodoh,"

"Bener juga." mereka tertawa kecil. Ardi sangat paham bagaimana cara menenangkan Halimah, dengan mengingat semua sejarah indah bersama.

***

"Bunda, kok ayamnya item? Pahit," ucap Asya sambil menunjukkan bagian yang gosong.

"Tanya Ayah sayang," balas Halimah sambil mencubit pipinya.

"Itu namanya rasa kopi putri, cuman lupa dikasih gula." Halimah dan Asya sama-sama tertawa mendengar jawaban Ardi.

"Nenek punya garam, ayah punya kopi." Asya berkata riang, menggerak-gerakkan ayam 'kopi'.

"Lah bunda punya?"

"Hmmmmmmmm, manis nggak, asem juga nggak, pokoknya rasa ayam."

Keluarga itu tertawa riang. Ditemani putri kecil mereka yang lucu, dalam suasana weekend yang indah.

***

Namun Halimah tau ini tidak akan lama, ia harus menciptakan momen terbaik selama sisa hari miliknya. Apa yang ia harus lakukan? Apa?

Air mata itu menetes kembali dalam lembaran buku harian miliknya. Jam dua malam ia terjaga, tidak tau harus berbuat apa dalam kesunyian hati miliknya.

Ia tidak ingin pulang ke alam sana, ia mencintai suaminya dan menyayangi Asya.

Namun hanya seminggu malaikat putih itu memberikan kesempatan padanya. Dan menjadikan seminggu ini dengan lautan bahagia, meski ia tau ini yang terakhir tuk berjumpa dengan Ardi dan Asya.

"Jika ingin pergi, setidaknya tinggalkan senyum jangan air mata."

Asya's DiaryOnde histórias criam vida. Descubra agora