Konferensi Pers

45 7 3
                                    

Senin, 19 Februari 2001

Kak, tadi aku cerita sama Ani, itu loh temanku yang di dekat rumah. Memang sih, Asya jarang cerita. Katanya punya Bunda baru itu ... gak tau ah, Ani kan belum pernah begini. Ya, Asya gak percaya begitu saja. Tapi takut juga karena kan bentar lagi Asya punya Bunda baru.

Terus Asya nanya ke Ayah. Ayah bilang Asya mirip wartawan nanya ini-itu. Kalau gitu, Asya bisa jadi wartawan ya? Atau jadi Kak Lia biar bisa tahu jenis kunang-kunang. Eh, bukan Kak Lia, Bunda.

Jadi yang aku tanyakan ke Ayah itu, Apa Ayah bakal melupakanku kalau ada Bunda baru?

Udah ya Kak. Oh iya, Asya rindu Bunda. Salam hangat.

***

"Asya, ini ada roti." Gadis di depannya yang bersuara. Menawarkan sebungkus roti tawar isi coklat yang dibeli dari kantin belakang sekolah.

"Makasih Ani. Duduk aja kalau mau," balas Asya. Mempersilakan sahabatnya menarik kursi di depan.

Ani, gadis dengan rambut berkucir kuda memperhatikannya. Ia memang yang paling peka diantara teman-teman yang lain. Oh iya, Ani juga sahabat yang paling dekat dengan rumahnya Asya. Sebelum Bunda Halimah pergi, setelah pulang sekolah ia sering bermain, mengerjakan PR ataupun menonton tv bersama.

"Kamu kenapa Asya, Kok kayak malas baca buku?" Tanya ia sembari menghabiskan sekotak susu UHT.

Asya melirik kecil, halaman buku dongeng yang baru ia beli kemarin di toko loak sepertinya tidak menarik perhatiann. "Ani, Asya boleh cerita nggak?"

Sahabatnya seperti mengerti gerak-gerik Asya. Mungkin saja rahasia yang tidak boleh diceritakan secara umum. Meskipun tidak ada siapa-siapa di kelas ia tampak memutar pandangan. "Boleh aja, lagian Asya udah jarang main ke rumah sekarang kan?"

"Ani tahu enggak? Kalau Asya nanti ketemu Bunda baru."

Susu UHT yang masih tersisa dari tegukan tadi menyembur, bersyukur saja Asya refleks menghindar dan sedikit tertawa dengan tanggapan pembuka dari Ani. Kaget dan ya ... tidak tahu setelah ini akan berbicara seperti apa.

"Asya bener mau punya Bunda baru, kapan?"

Sudah Asya duga. Lebih tepatnya pasti dengan prediksi ini. Ani bakal merespon dengan nada prihatin. Apakah ada yang salah dengan Bunda baru? Lebih tepatnya, apa Bunda baru adalah sesuatu yang buruk.

"Kayaknya masih lama. Ayah belum cerita lagi, tapi Ani, Asya masih sayang sama Bunda Halimah, kan Bunda Halimah itu baik banget, terus apa nanti Ayah bakal lupa sama Asya kalau sudah ada bunda baru?"

Ini begitu rumit, sangat susah untuk dipikirkan bagi anak seumuran mereka. Sejak dulu Ani telah kagum dengan sahabatnya itu. Ia sering bermain bersama Asya, baik di kelas maupun di rumah. Namun, setelah kejadian "hari biru" itu Asya berubah, bukan. Suasana di sekitarnya juga turut berubah. Ditambah konflik dan beban yang diberikan Ilham saat kelas tiga, gadis kecil itu semakin pendiam.

Ani melirik buku dongeng di depannya yang sampulnya masih dikorek Asya, masih menunggu jawaban. Kenapa tidak dibaca? Biasanya Ani sering melihatnya membaca buku di pojokan kelas. Di saat anak perempuan lebih suka bercengkrama ria dengan es krim lima ratus perak dan anak lelaki bermain kelereng, Asya berbeda.

"Tidak mungkin begitu, kan Ayah Asya orangnya baik." Sahabatnya itu mencoba, menghibur dengan kalimat yang entah ia sendiri tidak mengerti.

"Kan Ayah Asya pasti juga memikirkan Asya. Seperti Ani bagi roti ini, mungkin Ani punya sisa satu tapi rasanya tetap sama." Sambungnya lagi.

Ani jadi gemas sendiri, sedikit tersenyum dan mengacak-acak rambutnya. Ia terlihat seperti ibunya di rumah yang menasehati ketika harus membagikan boneka barbie ke sepupu. Namun, nasehat itu cukup membuat Asya tersenyum.

Asya's DiaryWhere stories live. Discover now