Geng Kupu-Kupu

76 5 15
                                    

18 Mei 2001
Kak, kita jalan-jalan lagi ke Panti Asuhan. Iya banyak teman-teman. Tadi baru aku hafal yang suka ngupil itu Asep, yang suka ketawa itu Kiki, yang cantik itu Mia.

Cuman, tadi bukannya Ayah senang malah sedih. Terus katanya kita cuma nginap sehari. Besok pulang. Oh iya, tadi juga Bunda Lia-hehehe maaf ya Bunda, diam terus. Asya sapa tidak mau jawab juga. Malah sedih terus bilang supaya jaga Ayah. Udah kak mau bobo, si Kiki udah ngorok duluan.

Catatan : Asya rindu Bunda, hai Bunda kemarin Asya sama Ayah pergi ke kuburan Bunda, Bunda senang tidak? Asya berdoa biar bisa sama-sama Bunda di surga. Aminkan ya Bunda

***

Alarm dari jam beker itu berbunyi amat kencang. Merayap di sela-sela dinding tripleks tipis, merambat ke udara kamar, mengantarkan dirinya tepat di daun telinga seorang gadis di sana. Terbangun dari senyap tidur selama lima jam kurang. Ah, dia tidak dapat tidur nyenyak kali ini, apa yang mengganggu?

Syukurlah bukan terbangun karena mimpi buruk lagi

Lia mengucek ujung matanya. Berusaha duduk dan mungkin berusaha untuk tetap sadar. Matanya masih terpejam merah dan ilernya mengalir deras dan menetes tumpah, bersamaan dengan dia yang ingin roboh ke tempat tidur. Namun suara azan dari surau begitu merdu membuatnya ingin berpikir. Hari apa sekarang?

Setelah berproses sejenak dengan otak yang masih lambat ia segera menepuk jidat.  Tidak! Itu hari ini.

Lia mengacak rambutnya yang mengembang seperti bulu singa. Mendesah,  berteriak, mengerang sekencang-kencangnya, lalu menyembur. walaupun berusaha tidak kepikiran tetap saja ingat.

Setelah mengerjakan salat subuh di kamar diikuti membaca alquran beberapa ayat, ia termangu kembali di atas kasur kapuk. Terdiam dan masih memikirkan apa yang akan terjadi nanti, bolehkah ia menunda? Bolehkah ia batalkan saja rencana pertemuan ini?

Gadis itu mengambil sebuah boneka kecil, berwarna cokelat dan berbentuk beruang dari tasnya. Dari Kak Ardi? Bukan, ini dari teman kampus yang dikenalnya. Sebagai tanda apa? Tidak ada, bukan Lia yang tidak peka dengan perasaan temannya itu hanya saja ... Kak Ardi yang tiba-tiba datang melamarnya ini membuat gagal move on. Padahal lelaki itu juga sama baiknya dengan Kak Ardi.

"Ahhhhh aku harus bagaimana teddy? Ini membingungkan kau tahu?" Ucapnya kesal dan menjadikan boneka beruang itu sebagai sasaran curhat. Padahal kuliahnya baru saja selesai, wisuda telah sebulan lalu. Seharusnya ia tidak usah pulang lebih awal ke panti.

Jari cahaya mentari masih setengah  jam lagi. Ia merogoh kertas dengan susah payah dari lemari lapuk di sisi kasur. Ada secarik kertas dari amplop bersegel. Logo beasiswa ternama ada di sisi kiri amplop itu, mungkin ini jalan keluar dari semuanya?

***

"Ayah mau ketemu Kak Lia?" Tanya Asya sebelum mereka tiba di sini, lebih tepatnya saat gerbong-gerbong kereta itu bergerak.

"Iya, Ayah mau lamaran," ucap sang Ayah dengan tersenyum lebar.

"Lamaran itu apa Yah?" Senyum Ayah melemah. Aduh, dia salah kata.

"Eh itu ... nanti kalau Asya besar pasti tau." Meski jawabannya mengambang tapi Asya tetap tersenyum.

Jadi harus cepat besar, gumamnya.

Ayah seperti biasa tergopoh-gopoh menggendong Asya ke halaman panti. Mobil bak terbuka  hanya mampu bertahan sampai di ujung jalan. Ah, bersyukur kali ini mereka mampu mendapat mobil, lebaran waktu itu hanya bisa dapat becak  kan?

Seperti lebaran waktu itu, Mamak Jua memeluk Ayah  erat, sedikit bulir di mata menetes satu persatu. Asya tersenyum senang melihat momen itu. Mungkin hangatnya seperti Asya dipeluk Bunda pas pulang sekolah.

Asya's DiaryWhere stories live. Discover now