Ikan Goreng Pengakrab Keluarga

72 17 28
                                    

26 Mei 2000
    Hari sabtu tadi Aku libur kak, nggak tau katanya ada rapat guru jadi Asya libur. Seneng sih, tapi agak bosan. Gak bisa main bareng sama temen, cuman Ayah ajak ke pasar hore ... siangnya Asya dan Ayah masak ikan. Hehehehe, lumayan kak habisnya dari kemarin kan cuman makan omelet telur.

    Lucu Ayah belepotan bau amis, terus air ikannya ke mana-mana. Iya kak, Asya bantuin Ayah masak ikan. Cuman kena minyak lompat terus di suruh ayah ke kamar saja, takut kena lagi.

   Malamnya, Ayah cerita tentang Bunda. Bunda itu ... cantik ya? Mirip Asya hehehe.

Catatan : Asya bentar lagi mau ulangan doakan ya Kak. Selamat tidur da da.

***
"Asya ... udah belum ganti bajunya?" Ardi mengacingkan jaketnya rapat-rapat. Angin yang menerpa di awal musim hujan membuatnya beberpa kali masuk angin. Pekerjaannya sebagai jurnalis koran mewajibkan untuk berpergian.

"Belum yah ... ini masih nyari topi," Asya terlihat mondar-mandir, bajunya telah terpasang. Namun topi berwarna biru muda masih sembunyi di mana, "udah yah, yuk cepat nanti keburu hujan," Ia menarik lengan Ardi, memangnya siapa yang dari tadi belum siap?

Motor astrea melaju pelan. Beberapa daun mulai gugur dan udara memeluk dingin. Asya di belakang mulai bergumam pelan, menyanyikan sebuah lagu dan di sahut sang Ayah yang membonceng. Motor menderu-deru meliuk ke arah jalan. Fajar telah berlalu dua jam, namun dingin memaksa beberapa orang menarik selimut. Bahkan mas becak langganan mereka membeli tempe tidak menampakkan batang hidungnya. Sebenarnya Ardi juga malas untuk keluar, tapi hari sabtu adalah jadwal wajib untuk belanja. Ia juga mulai bosan menyantap omelet telur.

"Yah, nanti mau beli apa di pasar?"

"Apa ya ... ayam mau?"

"Nanti rasa kopi lagi," Asya tertawa riang mengingat ayam 'kopi' itu. Tidak, Ia sedikit menjeda bila masuk ke scene Bunda.

"Nggak lah ... sekarang Ayah udah bisa masak, nggak percaya?" Ia menengok ke belakang, putri kecilnya tersenyum,  menggeleng tidak percaya, "ya sudah kalau gak percaya, kita beli ikan," nah kan, Ayah belum bisa masak ayam. Apalagi ikan? Mungkin saja rasa jamu.

Jarak pasar ke rumahnya tidak terlalu jauh. Mungkin sekitar tiga kilometer dari sana. Dan ini juga pertama kalinya Asya diajak ke pasar. Mungkin karena Ia selalu masuk sekolah saat jadwal rutin seperti ini. Ihhhhhh, Ayah mesra banget dengan Bunda dulu.

Jalan mulai ramai, semakin mendekat ke pasar semakin padat pula motor yang menyeberang. Ada puluhan sepeda  yang  mengangkut berkilo-kilo sayur. Atau mobil pick up hitam yang memuat puluhan ayam, suaranya nyaring dengan bulu beterbangan.

Asya yang sempat menceritakan sekolahnya kini terhenti, padahal Ia ingin bercerita lebih banyak, tentang Ilham yang tidak lagi mengganggu atau bukunya yang sering tertukar dengan Amin. Heran, buku  itu selalu ada namanya meski kecil di pojok halaman.

"Mas ayo ikannya ikan ... murah-murah masih pagi," sahut menyahut para penjual ikan. Dialek mereka masih terdengar asing di telinga Asya, gadis kecil memegang erat lengan baju ayahnya. Tidak ingin tertinggal di kerumunan pedagang.

"Asya jangan di lepasin ya, ntar kesasar," Ardi berkata pelan, matanya tetap mencari. Seseorang?

"Ayah, ini mau cari ikan kemana? Tuh ada banyak," Asya menunjuk ke jubelan penjual ikan, tertarik dengan kakap merah yang terlihat segar.

"Ke temannya ayah, tuh orangnya ... Salam!" Asya mengintip ke depan, dilihat nya lelaki dengan ikat kepala kain, bajunya yang putih kini berlumur darah ikan, sebagi pelengkap mulutnya menggigit sesuatu. Rumput?

"Assalamualaikum Ardi, bagaimana kabarmu?" Ia kini menjabat tangan Ayah, mengintip gadis kecil yang bersembunyi malu di belakang punggung, "dengan Asya ya? Kenalin om namanya Salam, mirip as-Salam-mualiakum," Ia tersenyum lebar, giginya terlihat kehitaman satu.

Asya's DiaryWhere stories live. Discover now