Dongeng

139 47 19
                                    

    Bunda menggeser pelan pintu kamar, terlihat gadis kecilnya masih mengamati langit-langit, ke arah cahaya lampu yang menyimpan sejuta imajinasi.
ia tersenyum kecil, melihat wajah Asya yang kini menatapnya. Bibirnya yang semakin putih menggigil, pertanda waktu habisnya mulai dekat.

    "Halo? Bunda boleh masuk?" Asya mengangguk cepat, tersenyum lebar.

    "Bunda boleh masuk lah ... ini kan kamar bunda juga," ia kini duduk menyilang di atas selimut.

    "Kok kamar bunda? Ini kan kamar Asya."

    "Tapi rumah Bunda dan Ayah, raja dan ratu," ia merapatkan jari telunjuk dari masing-masing tangan, lalu mengarahkan ke arah Bunda.

    Halimah berjalan ke arahnya, membuka laci kecil dan mengeluarkan buku dongeng, "mau dibacakan dongeng?"

   "Mau Bunda, mau banget ..." ringik Asya, sudah lama ia tidak dibacakan dongeng. Terakhir kali saat musim hujan akhir kelas satu, dan setelah itu Bunda larut dalam kesibukan.

   "Ok, yuk," ia membuka-buka halaman buku itu, "tapi ... semuanya udah pernah, gimana kalau Bunda bacakan dongeng sendiri?"

    "Bunda punya dongeng? Masa iya? Tapi jangan ngebosenin ... nanti Asya cepat tidur," ia menyandarkan tubuhnya ke tepi kasur, diikuti Bunda di sisinya.

   "Siap, tuan putri," Halimah merapatkan selimut ke kaki Asya yang masih selonjor.

    "Kita mulai ceritanya, Suatu hari ada keluarga kecil di sebuah desa. Keluarga itu ada Ibunda, Ayahanda, dan putrinya."

    "Seperti kita Bun?"

    "Iya seperti kita," jawabnya pelan mengelus kepala Asya,"itu keluarga kecil yang sangaaaaatttt bahagia, dan Ibundanya adalah keturunan Ratu kerajaan," Asya kini tertarik dengan cerita itu.

    "Dan terus ada penyihir jahat masuk ke rumah itu."

    "Pasti ngasih apel," jawab ia menebak.

    "Bukan ... ia berikan penyakit, dan si Ibunda tertidur lelap, tidak bisa bangun."

    "Apa? Ibunda gak bisa bangun?"

    "Iya ... semua dokter gak bisa nyembuhin si Ibunda, tidak ada. Akhirnya si Ayahanda mengajak putri kecilnya untuk berdo'a pada Allah buat sembuhkan Bunda, lalu memohon kepada Raja untuk minta dokter paling bagus buat sembuhin Ibunda."

    "Terus? Ibunda bisa sembuh?" Ia merapatkan selimutnya, menutup seluruh badan.

    "Bisa ... berkat do'anya ayah dan obat dari dokter Raja Ibunda itu bisa sembuh."

    "Ye ... berhasil," Asya bersorak.

    "Belum, ternyata dokter itu berkata, Ibunda harus pergi dari kota ini. Sakitnya harus disembuhkan di kota yang jauuuuhhh, dan harus berpisah dengan Ayahanda, putri kecilnya. Si Ibunda sedih karena harus berpisah dengan Ayahanda. Lalu Ayah berkata, jangan khawatir Ibunda, 'Aku dan putri kecil akan selalu berdo'a untuk kesembuhan Bunda'," Ia menyeka air matanya. Merapatkan pelukan pada Asya yang ikut terbawa suasana sedih dongeng.

    "Apa Ibunda gak balik ke rumah?"

    Halimah menggeleng, "Ibunda gak bisa balik ke kota itu, jadi Ibunda bilang ke Ayahanda, Aku akan menunggu Ayahanda, putri kecil untuk bersama di kota yang baru dan indah."

    "Kenapa Ayahanda sama putri kecil gak mau ikut Ibunda?"

    "Gak ... gak boleh, Ayahanda dan putri kecil harus tinggal di rumah itu, mencari uang agar bisa menyusul Ibunda."

    "Tapi kan ..."

    "Tidak boleh Asya," Ia mengusap rambutnya pelan, tidak boleh ada amarah ketika pertanyaan bertubi-tubu dari Asya, "kan Ibunda perginya dibiayain Raja ya kan?"

    Asya menangis, entah terhanyut cerita duka dari Halimah. Atau telah mengetahui makna dongeng dari Bunda.

    "Dan akhirnya sang Ibunda berucap pada Putri Kecil, 'temani Ayahanda di rumah, jaga ia baik-baik dan selalu peluk Ayahanda saat sedih' tamat."

   "Iiihhh ... Bunda kasih ceritanya sedih," kata Asya menepuk-nepuk pundak Bundanya.

   "Gak sedih itu... kelak Ibunda dan Ayahanda serta putri kecil dan berkumpul di kota yang indah, cantik dan hidup bahagia selamanya," ia tidak sanggup, melepas pelukan hangat darinya, melepas bibir ketika ciuman kasih sayang pengantar tidur.

   Dan Ardi di sana, di balik pintu kamar Asya. Pintu berwarna coklat yang menggantungkan seutas nama Asya the little Princes kini terduduk, menahan tangis dengan menghujamkan wajahnya. Apa ia boleh mencegat Izrail? Apa ia bisa mengulang waktu? Apa ia bisa ... dan sekali lagi tumpukan pertanyaan itu hanya tersalur air mata.

***

Kamis, 12 Mei 2000
Tadi aku dibacain Bunda dongeng, bagus sih ... tapi sedih ceritanya. Cuman, Aku mikir-mikir Kak, apa Bunda mau pergi? Asya mau ikut. Bunda ndak boleh pergi jauh-jauh.

Ayah juga udah baikkan kok sama Bunda. Udah makan bareng sama Asya. Tapi Ayah kelihatan sediiihhh banget, kayak gak pernah makan. Hehehehe. Tadi siang juga Aku sama Bunda pergi beli ke mall, main komedi putar

***

   Ardi hanya merenung ke arah segelas teh hangat. Tetes air di pipinya yang masih tersisa. Malam terakhir bersama Bunda? Apa yang harus ia lakukan.
Bunda masih mengaduk segelas miliknya. Dapur minimalis itu kini telah sunyi, detik jam yang menunjuk angka sebelas kini menemani malam mereka berdua. Halimah menghentikan denting adukan gelas, dan mengambil tempat di depan Ardi.

   "Ayah jangan murung gitu," katanya, memulai menyesap teh hijau impor, "senyum dikit kan ganteng."

    Ardi memaksa senyum, kaku. Halimah tertawa dan diikuti suaminya. Ia tidak ingin terlihat memikul beban atau stres. Malam ini harus istimewa, menikmati malam terakhir ini dengan obrolan hangat bersamanya, pamitan?

   "Jangan pergi ...."

   "Ayah, aku gak bisa nolak, tapi siapa tau juga itu mimpi. Mungkin saja, itu halusinasi sakit," Halimah berusaha setenang mungkin, "ngobrol saja yuk, sejenak ... kita lupain semua ini."

    "Masa iya mau lupain bunda?" Ardi kini sedikit tersenyum. Benar, kenapa tidak melupakan seluruh kesedihan yang melanda? Kenapa tidak mengobrol mesra seperti beberapa hari yang lalu?

   Rintik hujan tengah malam mulai turun. Ardi kini turut dalam permintaan istrinya. Untuk larut dalam obrolan tentang masa lalu mereka. Saat pertama kali membeli rumah kecil model minimalis.

   Atau lebih lama lagi ketika tatapan bertemu di perpustakaan kampus. Ardi yang berada di fakultas yang berbeda harus mencari-cari perempuan itu di seluruh penjuru. Dan pada akhirnya mereka bertemu.

   Ah, kisah-kisah yang indah. Terlebih mereka kini telah ditemani putri kecil yang cantik. Apa ini? Akan berakhir.

   Halimah beranjak dari kursinya, datang kembali dari arah kamar membawa sebuah buku miliknya. Diary coklat muda, suaminya tau jelas ia sering bercerita pada buku itu.

  "Ayah," ia mengajukan buku itu, "kelak dibaca ya ... tapi jangan sekarang, nanti."

   Ardi mengangguk pelan menerima barang sakral itu. Ia tidak pernah membaca jelas isi buku ini. Dan paling lebih ketika melihat sekilas kala Halimah menulis diatasnya.

   Dan tetap saja, keinginan untuk menahan Halimah tidak bisa diganggu gugat. Sambil menatap diary itu, ia mengerahkan genggaman tangan pada istrinya.

   "Jangan pergi" selalu menghiasi hatinya malam  ini.

   "Aku tetap mencintaimu, tunggu di surga ya, Ayah," ucapnya berbisik di telinga Ardi. Sangat jelas meskipun hujan telah mengguyur di luar, mendobrak air mata yang dari tadi tertahan.
Dan Halimah hanya mengusap rambut suaminya yang kini membenamkan wajah pada simpulan tangan mereka berdua. Momen yang sedih  sekaligus indah baginya.

***

Asya's DiaryWhere stories live. Discover now