Jangan Tinggalkan Aku

170 52 27
                                    

Rabu, 11 Mei 2000
   Tadi siang aku liat Bunda nangis, pas pulang sekolah. Aku gak tau kenapa, pas Aku tanya, Bunda cuma diem, gak ngomong apa-apa. Ayah juga gitu, cuman duduk di ruang tamu terus. Tapi Kak, aku juga liat ayah nangis.

   Ahhhhh aku gak tau harus apa Kak, tadi malem juga Bunda sama Ayah gak makan bareng Asya. Terus Paman Jabir jemput Asya buat main ke rumah Nenek.

    Asya takut, takut Bunda sakit lagi. Terus Asya pulangnya marah ke Ayah, bilang Ayah jahat! Udah buat Bunda nangis. Terus Ayah cuman diam.
Catatan : aku sebel, marah, takut Bunda sama Ayah marah besok lagi.

***

    "Assalamualaikum, Bun.. berkas ayah ketinggalan," Ardi membuka pintu rumah. Mencari-cari Bunda yang tidak ada di ruang tamu ataupun keluarga.
Terdengar isak tangis dalam kamar. Ardi yang jelas tau itu suara istrinya membuka pelan pintu, "Bunda kenapa nangis? Bun? Bunda? Halimah?" Panik, ia tidak tau apa-apa.

    Dalam kepanikannya ia hanya melihat jelas Bunda mengemas seluruh pakaiannya, baju istrinya kini tertata rapi dalam koper besar mereka berdua. Seluruh dugaan tidak mengarah kini berada pada titik didihnya.

   "Bunda mau apa?! Ini..." tidak merasa nada suaranya ikut meninggi, Halimah tidak menjawab.
"Bunda mau tinggalin Asya?! Jawab!"

    Halimah kini menatap suaminya, dengan wajah yang hampir basah keseluruhan. Ia merasa harus mengutarakan ini semua, menjelaskan apa yang mengganjal di benaknya. Namun, bagaimana perasaan Ayah kelak? Apa Ia bisa percaya?

   "Dengerin Bunda dulu yah," Sang Ayah kini terpaku diam, "Bunda tidak tau harus jelasin kayak bagaimana lagi, hari Jum'at bunda pergi, kalau tidak tau Bunda akan...," Ia menarik nafas berat, menahan pecah tangis, "meninggal."

   Sesuatu mengguncang Ardi, mengguncang batinnya yang selama ini kokoh. Dengan cepat ia memeluk Halimah yang telah hilang seluruh tenanganya menjelaskan hal yang selama ini tabu.

   "Apa maksud bunda?" Suaranya memelan, menelan ludah akan kebenaran yang ada.

   Halimah menambah deras tangisannya, berjalan ke depan Ayah dan jatuh ke pelukan, "Aku tidak ingin pergi Yah, bunda takut... Bunda takut...," teriaknya keras, dan sejelas mungkin mengalahkan rintih tangis.

   "Bunda tidak, Jangan! Bunda jangan pergi, tidak boleh!" Sial, Ardi kini tergagap, tidak tau harus apa dengan tangisan yang kini menular.

   Bunda kini bertekuk lutut, membenamkan wajah pada tangannya, "Maaf yah, maafkan Bunda."

   "Bunda masih sakit, ayo Bunda tidur dulu supaya bicara dengan jelas."

   "Tidak! Bunda bicara dengan jelas, Aku ingin Ayah dengarkan baik-baik," teriaknya lagi, dan kali ini Ia sangat berharap suaminya itu mengerti.

   Dan Ardi kini duduk di depannya, dengan wajah tertunduk mendengarkan seluruh penjelasan Halimah.

   "Seharusnya Bunda sudah tiada malam ini, bahkan sejak hari Jum'at itu. Berkat do'a Ayah bunda minta untuk pamit dulu," suara itu kini bergetar.

   "Dan Ayah tau? Bunda hanya dikasih seminggu, seminggu yah. Dan Kamis adalah hari terakhir Bunda melihat Ayah. Bunda mohon Ayah mengerti..." ia tidak dapat melanjutkan. Tangannya kini mengepal di dadanya, menahan sesak yang sangat.

   Ardi membuka lengannya, membenamkan tubuh Halimah dalam pelukannya, tangis miliknya kini menyatu di baju Ardi.

   Pasangan suami-istri itu kini berbagi tangis. Teriakkan rintih Halimah, antara sambutan kepergian atau menahan sakit hebat yang menyerang kepalanya. Semua terasa perih, sakit sekali. Dan  tertidur dalam pelukan hangat atas hatinya yang dingin.

***

   Suara detik  jam dinding terdengar memekakkan telinga. Cahaya jingga senja  mengintip dari balik jendela kaca di kamarnya. Ia masih memikirkan kejadian pagi tadi, seharusnya tidak begini, harusnya ia tersenyum dengan Ardi. Harusnya ia berbagi keceriaan sebelum hilang dari dunia ini. Seandainya ia tidak mengidap penyakit ini dari kakek Asya. Apa harus membenci ayahnya sendiri?

   Ia terbangun dengan kaki yang masih kaku, kalap mencari-cari Asya. Dan akhirnya terduduk tangis. Apa yang akan Asya lakukan bila ia telah tiada. Sial, kenapa harus ada penyakit ini? Kenapa ia yang menjadi bagian dari penyakit kanker brengsek ini?
Pintu kamar berdecit pelan. Lampu dari ruang tengah ikut menyeruak beriringan dengan wajah putri kecilnya. Mukanya terlihat khawatir, berpikir sesuatu tentang tangis Bunda.

   "Bunda kenapa? Bunda sakit?" Ia mendekat, duduk disamping Bunda. Wajah pedulinya sangat mirip dengan Ardi.

   Halimah menggeleng kepala, takut jika berucap hanya akan menambah air mata yang keluar. Mengelus wajah malaikat kecilnya. Menatap dalam dengan lembut ala seorang Ibu yang tulus menyayangi sang buah hati.

   "Apa Ayah  jahat? Kok Bunda bisa nangis?" Gelengkan kepala sekali lagi. Jangn berpikir seperti itu Asya, Bunda yang jahat karena mendapat sakit ini.

   "Main ke rumah Nenek ya? Nanti pulang pas malem. Jangan nakal ya," hanya itu yang terbaik, setidaknya.

   Asya pergi bersama Mas Jabir, dan kakaknya itu tidak tahu menahu tentang Ardi yang dilihatnya duduk di ruangan terpisah.

***

   "Ayah jahat! Udah buat nangis Bunda! Pokoknya Ayah jahat!" Ardi hanya menatapnya kuyu, tidak tau harus menjawab apa.

   "Asya... Ayah,"

   "Gak mau! Asya gak mau ngomong sama Ayah" ia berlari ke kamarnya, membanting sekuat tenaga. Meninggalkan makan malamnya yang masih tersisa banyak.

   Lelaki itu mengembuskan napasnya kuat. Ia bertanya dalam hati kepada Tuhan, apa yang harus dilakukan sekarang? Mengatakan semuanya pada Asya? Lalu bagaimana dengan sikapnya pada Halimah?

   Ini semua membuatnya menjatuhkan air matanya. Berharap tidak pernah terjadi, berharap Halimah tidak pernah mengalami penyakit seperti ini.
Dan mengusap serta mengacak-acak kepalanya. Pusing, sakit.

   Dengan hati berdebar Ardi melangkah masuk ke kamar. Istrinya hanya terduduk menunduk dalam, bajunya basah akan air mata. Dan wajah yang tersinar lampu putih itu bermakna dalam, sesak ia melihatnya.

   "Bunda?" Halimah mengangkat wajahnya, sembab, "Ayah minta maaf."Istrinya memaksa senyum, menguatkan dalam kesedihan mendalam itu.

   Dengan cepat dan sepertinya tidak disadari Halimah, Ardi memelukanya erat, mendekap dalam pelukan hangat seorang Suami.

   "Aku salah Bun, Aku salah, seharusnya Aku tidak marah sama Bunda. Aku minta maaf..." tangisnya pecah.

   "Bunda yang harusnya minta maaf... Bunda tidak ingin meninggalkan Ayah, Bunda takut."

   Ardi ingin teriak saat itu juga, ingin mengucapkan sumpah serapah pada takdir yang membelenggu kebahagian cintanya. Ingin ia tantang Izrail ketika mengetuk pintu rumahnya. Tapi Ardi sadar ia hanya manusia lemah, yang bahkan menyusul Halimah kelak.

   Ia melepas pelukannya, menatap lembut wajah Halimah meski penuh air mata.

   "Ayah janji akan selalu disisi Bunda saat ini,  Aku janji untuk menjadi suami terbaik selama sisa hari Bunda, dan jangan sedih lagi bunda, jangan sedih lagi," sulit, untuk menguatkan padahal hati telah kalut akan ketakutan.

   "Makasih Ayah, makasih untuk menemani Bunda selama ini,"

   "Jangan tinggalkan Aku Bunda, tolong," bisiknya kecil pelan, kontras dengan debar jantungnya.

Asya's DiaryWhere stories live. Discover now