Taman Dongeng

55 13 16
                                    

"Naik-naik ke puncak gunung, tinggi, tinggi sekali," Asya mendendangkan lagu sembari menepuk tangan sebagai iringan. Menghibur Irfan kecil yang baru saja menangis di dalam mobil.

Ayah dan Paman Jabir duduk di kursi paling depan. Sepertinya asyik bercengkrama dan hanya di maksudkan khusus bapak-bapak seperti mereka. Begitu juga bibi Ria yang kini mengobrol dengan nenek Kartika, ketika Asya mengintip di balik sofa mereka terlihat asyik berdebat tentang isi majalah Ibu-ibu.

Sementara Asya duduk di bagian belakang. Menemani sepupunya yang baru beranjak balita. Apa yang akan Ia obrolkan, Memang Irfan kecil akan mengerti?

Ia mengembus pelan. Menatap dan menghitung berapa kali pohon yang dilewati, menebak bentuk awan yang melintas, atau membuat muka lucu agar Irfan tertawa riang. Ia paling tidak bisa melihat anak kecil menangis, dan menyebalkannya Ia juga masih kecil.

Keluarga itu menghabiskan liburan caturwulan ketiga dengan pergi ke daerah puncak. Di sana, ada rumah yang cukup besar dekat pegunungan sejuk. Asya hanya mendengar cerita dari Bunda, dulu kakek mempunyai kebun teh luas.

Asya juga ingat kala itu menghabiskan waktu di rumah besar. Memandangi pepohonan dan menghirup angin pagi desa yang sejuk. Semoga saja Ia masih bisa menikmati itu semua.

Mobil kini berbelok ke jalan terjal berbatu. Bunyi berisik kerikil membangunkan Irfan yang sempat tertidur. Jalan ini, pohon cemara yang menjulang, bunyi kecil dari burung pipit. Menandakan rumah besar telah dekat.

Gadis kecil itu meregangkan tangan, keluar dari mobil yang berjalan empat jam lamanya. Menghirup dalam-dalam hawa pedesaan yang menjelang sore.

"Ayah ayo cepat ... Asya udah nggak sabar mau masuk rumah," katanya melambaikan tangan. Mendahului dua lelaki yang mengeluarkan koper dari dalam mobil, menyusul nenek Kartika dan bibi Ria melangkah di jalan setapak.

Rumah berdinding kayu yang di pelitur. Ornamen khas hutan dengan serambi berwarna cokelat tua. Di kelilingi pagar alami berupa pohon cemara yang menjulang tinggi. Menjelang senja Asya sendiri bisa mendengar burung pipit yang kembali pulang. Indah, sungguh indah. Kalau kau di sini, mungkin akan merasa seperti di negeri dongeng.

"Asya pelan-pelan, awas jatuh." Kata Ardi menyusul, membawa koper penuh dengan baju ganti.

Pintu rumah besar di buka. Nenek Kartika seperti membuka sebuah rumah dongeng dalam cerita putri salju. Gadis cantik itu tersenyum riang, menari-nari di lantai kayu dengan bau khasnya. Merindukan rumah besar liburan mereka, merindukan kenangan bersama Bunda.

***

Fajar yang berlalu sejam menghangatkan sebagian puncak. Gemerisik angin pepohonan membuat damai keluarga di sana.

Asya, Ayah, nenek, Paman Jabir dan bibi Ria. Begitulah Asya menghitung pendaki di dalam hati, eh ketinggalan Irfan kecil yang di gendong bi Ria. Mau kemana mereka? Ah, tidak jauh dari rumah kayu itu ada pemancingan luas yang pemiliknya juga dekat dengan nenek Kartika.

Kenapa jalan kaki? Sekali-kali. Ketika berlibur seperti ini, Kakek pernah mengajarkan untuk meminimalkan segala yang praktis, termasuk mobil. Berjalan kaki juga lebih nyaman bukan? Asya bisa melihat burung yang membuat sarang dan tupai yang saling kejar-mengejar.

"Itu Asya, pemancingannya di depan." Kata Bi Ria. Menunjuk ke arah rumah panjang di ujung jalan setapak.

Sebenarnya itu bukanlah pemancingan. Hanya sungai mengalir yang sengaja di bangun tempat berteduh yang cukup luas, dikelola oleh bapak-bapak yang seumuran dengan nenek.

Gadis kecil itu melempar senarnya. Mencoba keberuntungan pertama dengan cacing yang lumayan besar. Seraya memperhatikan keluarga Paman Jabir yang bercengkrama. Setelah itu, kepalanya memutar, kemana Ayah pergi?

Asya's DiaryWhere stories live. Discover now