Peringkat Satu

101 14 18
                                    

10 Juni 2000
Hore ... kak, aku dapat juara 1. Ye, coba Kakak bilang ke Bunda pasti Bunda seneng banget kan, ya kan kak? Oh iya kak, tadi juga Ayah yang nerima rapot. Cuman agak terlambat, katanya Ayah harus ngurus koran dulu. Jadinya ... aku tadi takut kalau Ayah gak datang.

Cuma kenapa sih keluarga Ilham itu nyebelin. Nggak Bundanya, Ayahnya terus Ilhamnya sendiri.

Terus setelah pulang Ayah ngajak Asya pergi ke toko beli es krim. Senennggg banget. Terus jalan-jalan buat rayakan Asya juara 1. Bu guru juga ngasih hadiah cantik. Ternyata Nenek pinter juga ngajarin Asya, hehehe. Maaf nenek kalau Asya bandel :)

Catatan : Bunda, Asya Rindu. Bunda, Asya juara 1.

***

Sekolah begitu ramai, penuh dengan siswa-siswi yang menggandeng erat tangan orang tuanya. Bermacam-macam tingkah mereka, meringik dibelikan jajanan di luar sekolah dan tentu saja dilarang keras, alasannya? Jangan, kotor nanti perut kamu sakit. Atau dengan cepat menarik mereka ke arah kelas, mungkin saja wali kelas telah melakukan pembagian rapot.

Hampir sejam Asya menunggu di tepi. Memincingkan mata ke arah halaman yang penuh dengan motor, berharap pahlawannya datang dengan senyum mengembang. Padahal Ia sudah memastikan Ayah membaca undangan guru. Ya ... memang seperti ini, Asya paham kalau Ayahnya super sibuk.

Gadis itu mengembuskan nafas pelan. Sedikit mengalih pandangan ke arah kelas di ujung sana. Apa boleh kalau Asya sendiri yang menerima rapot? Begitulah pertanyaan yang ada di benaknya. Seandainya Bunda masih ada pasti tidak akan telat. Ya, ini pertama kalinya Ayah menerima rapot.

Lapangan kini telah sepi, sepi dari murid-murid baik. Hanya tersisa anak lelaki bandel yang kini bermain kejar-kejaran, tidak memusingkan mereka akan mendapat peringkat berapa ataupun nilai merah di rapot. Ingin sekali kakinya melangkah ke kelas, ikut duduk dan mendengarkan pengumuman libur caturwulan. Ayah kapan datang?

"Asya nungguin siapa?" Seseorang menegurnya. Asya yang sebelumnya menikmati semilir angin mengarahkan ujung mata ke arah lawan bicara. Lelaki berkaca mata yang duduk di bangku belakang. Wajahnya merah padam dan menatap lantai terus menerus.

"Nunggu Ayah, Raka gak masuk kelas?" Matanya masih mencari sosok itu. Tidak memperhatikan Raka yang kikuk setengah mati berhadapan dengan Asya.

"Di kelas panas, bosen nunggu pengumuman juga," ucapnya lagi pelan. Walaupun sekda ragu atau malu, Ia kini mengambil tempat di sebelah Asya.

Benar, Ia sangat gugup. Lelaki kecil itu masih gugup untuk memulai obrolan kembali dengan Asya. Kalau saja perempuan itu melihatnya habislah sudah. Mungkin saja tampak sekali seluruh getaran yang melanda kakinya saat ini.

Dia Raka. Bocah berkaca mata yang duduk paling belakang di bangku kelas. Apa yang unik dengannya? Pintar sudah pasti, terlihat dari matanya berkaca mata akibat kebanyakan begadang membaca buku. Meskipun niatnya hanyalah mendapat rangking tiga di kelas. Kenapa tiga? Ah, Ia masih kalah dengan Ilham sang anak manja dan gadis kecil yang kini berdiri di sampingnya. Berharap nilai dan rangking itu sedikit menarik perhatian Asya.

"Bundamu udah datang?" Tanya Asya, mencoba mengobrol meski Ia sendiri sedang panik dan ingin menangis. Biasalah, anak SD.

"Sudah." Pelan, sangat pelan dan syukurlah Asya mempunyai pendengaran yang tajam.

Kedua anak itu tidak sempat mengobrol banyak. Hanya keseharian yang mereka jalani, atau mengeluh tentang panasnya sekolah ini. Asya langsung bergerak cepat ketika sang Ayah datang. Matanya berbinar-binar dan segera menarik tangan lelaki itu menuju kelas.

Meninggalkan Raka seorang diri. Ah, baginya itu tidak apa-apa. Sudah menjadi keberuntungan yang besar bila mengobrol dengan Asya yang pintar dan pendiam, terlebih ketika Ia kehilangan sosok Bunda. Perempuan cantik yang selalu hadir di bangku paling pertama ketika penerimaan rapot.

Asya's DiaryWhere stories live. Discover now