Tentang Ayah

64 20 18
                                    

29 Mei 2000
Asya bingung ulangan ipa, tadi juga lupa silang nomer 3. Semoga bu guru Asih gak marah, kan bu guru sering cubit kalau nilainya gak bagus.
Hari ini Asya mau cerita apa ya kak? Gak ada yang menarik sih, Asya nunggu Ayah jemput cuman agak telat, terus kita makan malam dengan sup daging di rumah nenek,  malamnya belajar sebentar dengan Ayah. Hmmm apa ya? Udah ah Asya mau bobo, besok aja dah baru cerita.
Catatan : Asya Rindu Bunda

***

   Jepretan foto berkali-kali menyinari tempat kejadian. Lelaki berjaket tebal tidak henti-hentinya menekan tustel bermerek fujifilm ke arah tkp. Penjambret yang baru saja di taklukan seorang mas becak, berita yang mungkin bagus untuk di angkat esok. Telepon genggam kembali berdering tanda panggilan dari temannya, mungkin saja ada berita baru di jalan lain.

   Motor astrea lama kembali menderu, sedikit berbatuk sebelum menderu kencang melewati Polisi yang telah datang ke tempat, mengamankan jambret yang lebam di pipi. Si Wartawan mengencangkan helm miliknya, menyapa beberapa kenalan dari koran lain yang meliput. Ia menarik nafas dalam, pekerjaan yang menantang dan sedikit membuatnya terasa hidup.

   Dan benar di tempat lain pula, jauh dari tkp penjahat. Kecelakaan beruntun mobil kijang dengan motor CB, korban yang jatuh adalah si pengendara motor. Kembali sang wartawan memotret meski telah terlambat beberapa menit, para pencari berita yang lain lebih dulu datang ke sana.

   Ia kini mewancarai polisi setempat, meski harus membujuk berkali-kali. Ardi meletakkan pena, ah selesai sudah. Menghembus nafas pelan, kembali menggerakkan motor  ke kantor.

   Langit  siang terpanggang matahari yang mulai bergeser. Jam tangan menunjukkan dua siang ketika Ia tiba di kantor. Seperti biasa, setelah menangkap berbagai berita kini tugasnya sebagai penjahit kata dengan mesin tik.

   Kantor mereka terbilang cukup kecil. Sebuah ruko yang di sulap menjadi kantor berita berbasis media cetak. Dengan tiga ruangan, satu kamar untuk  tempat direktur, kamar yang lebih luas di bagi menjadi lima bilik, dan satu lagi khusus untuk dapur.

   Mungkin terasa sepi. Hanya ada satu rekan yang melongo di balik bilik melihat kedatangan Ardi. Ketua sedang perjalanan ke luar kota, empat yang lain telah duluan pulang, mungkin telah selesai berita yang mereka cari.

   Walaupun pemasaran koran hanya khusus dalam kota namun cukup lumayan untuk penghasilan Ardi selama ini. Dan juga, pekerjaan ini menyenangkan baginya. Melihat berbagai kejadian dan menyusunnya dalam satu waktu. Ia sering kali menceritakan itu pada Halimah, menjadikan obrolan sepasang kekasih tidak monoton setiap malam. Andai saja ... ah, lupakan.

   "Dapat berita apa sekarang?" Tanya seorang lelaki. Ternyata rekan kerjanya, Karim.

   "Ya, seperti biasa." Matanya tetap terpaku pada mesin tik. Sesekali mengeja tulisan, takut ada yang salah.

   "Hufffttt kau enak Ardi, aku sendiri selalu telat dapat berita bagus," Ia tersenyum dengan sanjungan itu. Memang, sebagai seorang wartawan Ardi punya komitmen untuk mendapatkan berita yang tercepat namun tentu saja harus benar.

   "Ya, salah sendiri kau kurang cepat." Ia menarik dan menekan kembali kertas, masuk ke barisan ke dua sembari memperbaiki kaca mata yang hampir terlepas. Lelaki itu mulai membicarakan hal lain, mungkin karena ketikannya telah tuntas. Hanya di respon anggukan dan sesekali lirikan oleh Ardi.

   Karim merenggangkan tangan, meletakkan secangkir  es kopi miliknya di meja Ardi, sepertinya bakal di mulai, "Ahhhh telinga ku pegel-pegel dengar istri dirumah, sering ngomel mulu." Benar, sesi obrolan tentang istri.

   "Layani saja, gitu kan tanda sayang," ucap Ardi pelan, Ia menghentikan tarian jari. Memperhatikan keluhan rekan kerjanya. Apa kau tau? Soal curhat tentang Istri maka lelaki berkaca mata inilah yang paling tepat, saran serta pendapatnya mampu di terima dengan baik oleh para teman wartawan dan berhasil di terapkan pada istri mereka, amazing. Hanya saja ... kau tau sendiri kan.

Asya's DiaryWhere stories live. Discover now