Subbab : Gemuruh Hati

36 3 5
                                    

Suasana semakin canggung. Atmosfer hangat di dalam ruangan khusus tamu semakin menurun suhunya. Tidak ada suara obrolan, hanya hening dengan sesekali suara adu antara piring dan sendok. Tidak lupa hempasan angin di luar sana, sepertinya akan hujan.

Sesekali Asya melirik wajah Ayahnya. Terlihat jelas sedang meratapi sesuatu, menatap dalam-dalam makanan dan kursi kosong di samping Mak Jua. Di mana Kak Lia? Apa terlalu lelah karena mengelilingi hutan, atau ... karena marah dipanggil Bunda.

Makan malam selesai begitu cepat. Hanya Mak Jua yang menyisakan beberapa butir nasi di piringnya. Ayah yang hanya mengaduk-aduk nasi tidak karuan dan Asya yang menghabiskan ayam dan setengah dari nasinya, tentu saja gadis kecil itu menyisihkan sayur di pojok piring.

"Asya langsung tidur ya ..." Ucap Ardi setelah membantu membereskan piring.

"Ya ... ayah, ini kan masih jam 8, masih sore, Asya mau main."

"Asya dengar ayah," ucap sang Ayah dengan nada sedikit meninggi. Memegang erat bahu putri kecil dan menatapnya tajam. Asya hanya mampu menunduk, tidak ingin melihat mata hitam Ayahnya yang begitu dingin. "Asya bobo, besok pagi kita pulang. Persiapan sekolah."

Ingin sekali Asya membantah. Menjelaskan bahwa ini masih hari jumat. Bisa saja mereka pulang di hari minggu siang, mempersiapkan peralatan sekolah saat malam hari ditemani bunda baru. Hanya saja yang diekspresikan hanyalah anggukan membisu, segera balik kanan dan berjalan ke arah kamar.

"kamu toh ngomong apa ke Asya? Bagaimana mau jadi orangtua yang baik kalau gitu." Mak Jua ternyata memperhatikan dari belakang. Dengan nada suara yang tidak enak didengar, belum lagi dengan agak kasar menumpuk piring dan sendok. Sungguh, suasana malam ini tidaklah bagus.

"Sebab itu aku perlu Lia untuk jadi istriku Mak. Tolong yakinkan dia sekali lagi." Ardi begitu resah, memohon sekali lagi dengan penuh harapan ke arah Mak Jua. Namun, pengasuh panti hanya bisa menggeleng, membuat Ardi hanya terduduk di kursi.

Hening, Mak Jua telah selesai membereskan piring. Ia tidak begitu semangat untuk mencuci piringnya malam ini. Wanita gempal itu hanya memangku tangan, duduk diseberang meja. Menatap lamat-lamat pria yang dulu bocah petualang di pantinya.

"kamu coba bicarakan baik-baik dengan Lia. Mak tidak mampu untuk ikut campur lebih dalam lagi."

"Aku sudah mencoba Mak, padahal dia waktu itu bilang iya."

"Dia tidak bilang iya." Mak Jua memotong kalimatnya, membuat Ardi tertegun. "kau harus bisa membedakan kembali mana 'iya' yang benar-benar seorang gadis inginkan dan 'iya' yang perlu waktu cukup lama."

Ardi sama sekali tidak mengerti, ini begitu rumit, begitu menghantam kepalanya. Membuat air mata di pipinya kembali mengalir, menetes satu demi satu. Inikah patah hati? Patah hati yang lebih parah dibanding masa lalunya dengan wanita dokter.

Belum sempat ia membalas sanggahan Mak Jua. Tirai ruang tamu tersibak pelan. Dari ruangan sebelah yang remang terlihat Lia yang kini memakai sweater tebal. Tidak, ia tidak mungkin menatap Kak Ardi saat ini, matanya yang sembab mengarah ke Ibu gempal di sana.

"Mak, Aku mau keluar, nyari angin," ucapnya pelan sembari kembali menutup tirai.

Ibu gempal yang belum mengangguk kini memalingkan mukanya pada Ardi. Ah, dasar lelaki yang kepekaannya perlu dipertanyakan. Mak Jua memukul meja kayu di depannnya. Menganggetkan Ardi yang langsung kikuk dan memasang muka polos.

"Ya kamu itu tanggap sedikit lah, kejar Lia sana."

Ardi mengangguk, menyusul Lia dengan setengah berlari. Meninggalkan Mamak yang kini tersenyum datar. Menjadi penengah dan penonton drama anak asuhnya.

Asya's DiaryWo Geschichten leben. Entdecke jetzt