Ayah Putra Petir

78 21 20
                                    


Ada berlembar-lembar diary setiap harinya. Di tulis oleh tangan kecil itu. Entah untuk meluapkan kegelisahannya, atau sekedar bercerita kesehariannya sebagai anak SD kelas 3 pada umumnya. Namun selalu, setiap kalimat terakhir akan ada bunyi seperti ini, "Asya kangen Bunda."

Senin, 22 Mei 2000
Kak, tadi Aku nangis lagi. Padahal Asya kan udah janji supaya nggak nangis lagi. Supaya Bunda di sana gak sedih. Ih, gara-gara Ilham. Masa dia nanya begitu ke Bu Guru. Masa juga dia bilang begitu ke Asya. Kan semua juga udah tau, kan semuanya udah tau kalau Bunda udah gak ada. Kenapa harus bilang-bilang lagi.

Tapi, aku tau sekarang. Ayah itu pahlawan super. Kayak Gundala putra petir cuman gak pake petir. Ayah marah ke bapaknya Ilham. Kasihan, tapi gak apa-apa. Biar gak ada yang ganggu Asya lagi. Jadi kira-kira namanya apa kak?

Ayah putra petir? Eh kan gak pake petir.

***

Kelas sedikit gaduh saat itu. Sengaja, guru wali kelas mereka, Bu Asih kini memberikan tugas mengarang. Dan tentu saja setiap siswa harus membacakannya di depan kelas. Lalu jadilah seperti ini, kelas yang ribut denga berbagai hal. Ada yang membicarakan apa yang mereka tulis. Ada yang "mencuri" tugas orang lain untuk di perlihatkan ke teman geng-nya, yang berunjung pada teriakan korban. Atau menukar binder yang bukan dari kegiatan ini.

Berbeda dengan Asya. Semuanya kontras dengan gadis kecil yang duduk di bangku paling tengah, baik dari baris maupun deret bangku lain. Ia kini sibuk akan dua hal, menulis cerita yang Ia ingat serta membaca sedikit komik "Gundala Putra Petir" pemberian Sang Ayah. Meskipun sampulnya terlepas entah kemana, sepertinya komik itu sudah berumur cukup lama.

Asya lebih pendiam sekarang. Ia yang dulu banyak bertanya setiap kali di berikan tugas, terutama pelajaran yang memusingkan. Kini tampak lebih tenang setelah hari "itu". Tidak ingin di ganggu, dan sibuk menenangkan hati kecilnya yang masih lambat dengan perubahan suasana.

Seorang anak lelaki tiba-tiba mengacungkan jari. Menarik perhatian setelah berteriak semangat memanggil Bu guru, "Bu Guru ... ini kita mengarang tentang apa?"

"Kan Bu Guru sudah bilang, ya tentang pengalaman di rumah, liburan, atau ngumpul-ngumpul dengan ayah dan bunda." Bu Asih berkata pelan, untuk apa meladeni anak nakal seperti dia.

Dan yang bertanya menyengir senang, mendapat kata kunci yang Ia mau, "Tapi kan kalau gitu, Asya gak bisa ngarang," Gadis kecil menghentikan tangannya membalikkan halaman komik, "soalnya dia kan udah gak punya Ibu."

"Kenapa kamu ngomong gitu?" Bu Asih melotot padanya, namun itu hanya angin lalu bagi Ilham.

Bagai kilat yang menyambar. Kalimat itu, susunan katanya, pola bahasanya, semuanya bagai deru angin ribut merobohkan dinding hati yang baru di susun. Dan menariknya ke dalam memori lama yang hampir di jeda. Siapa dia? Siapa dia yang mencoba menjahili Asya?

"Kasihan kan Bu, nanti nulisnya bagaimana?" Kasihan apanya, bocah itu tidak berhak mencampuri urusan Asya, "jadi ndak usah kasih tugas seperti ini!"

Bu Asih hanya diam. Mungkin memperhatikan kelakuan bocah itu, ah sudahlah Asya tidak peduli. Hatinya hancur berkeping-keping ketika kata-kata itu keluar. Apa masalahmu dengan tugas ini dan hubungannya dengan kematian Bunda. Kenapa tidak kau katakan saja "Aku gak bisa ngarang bu." Cukup kan?

Bocah botak itu tetap berdiri, menunggu Bu Asih menjawab keluhannya. Namun, bukan Bu Guru yang menjawab, Asya mendahului. Ia mendorong mejanya pelan, dengan mata melotot ke arah Ilham. Dan sekarang sadar siapa anak lelaki itu, saingan satu-satunya di kelas. Bocah kecil dengan segala cara untuk mendapat nilai lebih tinggi darinya.

"Kamu jahat!" Hanya itu yang dapat dikatakannya. Pelan, dengan suara tertahan karena bulir air mata yang meloncat turun.

Asya berlari keluar, menutupi sisa air matanya dengan lengan baju. Teman-teman dari bangku belakang kini mengerubungi jendela, melihat gadis itu berlari entah kemana. Dan Bu Asih hanya bisa menghembuskan nafas pelan, menyuruh murid-muridnya untuk kembali duduk dan menyusul Asya.

Asya's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang