Air Mata dan Pergi

106 43 17
                                    

   "Ayah, aku bisa bangun, aku masih hidup yah." ia melompat ke pelukan suaminya, mengalungkan lengan pada Ardi yang sebelumnya masih terlelap.

   "Bunda," balasnya sambil mencium kening Halimah.
Dan hari ini, semua kebahagiaan Halimah seakan meluap. Ia yakin dan sangat percaya sosok yang mendatangi hanya bagian dari koma seminggu lamanya. Seakan semua indah dan cerah.

   Dengan segera ia memeluk Asya yang juga baru keluar dari pintu kamarnya.

   "Bunda kenapa?" Katanya terkejut melihat kedatangan Halimah.

   "Bunda lagi senengggggg banget, bisa meluk Asya."

   "Lah kan tadi malam Bunda udah meluk Asya."
Ia tidak menanggapi protes dari putri kecil, yang terpenting saat ini ia dapat memeluk Asya erat, mencium suaminya mesra, dan dapat bernafas disamping mereka.

   Cahaya mentari yang sempat redup dan hampir hilang kini bangkit, menyeruak dalam senyum lebar. Ia dengan riang menyiapkan seluruh permulaan aktifitas di jumat cerah.

   Mengaduk teh dengan irama untuk Ardi, menyisirkan rambut Asya dengan bersenandung, atau memeluk lagi suaminya. Benar-benar bahagia.

***

   Ardi membalas lambaian tangan Asya, dan tangan kirinya tetap berada dalam pelukan Halimah. Merasakan Ia yang tetap disisi, namun hatinya tetap merasa was-was.

   "Dada... jangan nakal di sekolah ya." Bunda kini berucap semampunya. Dan Ardi tau itu keras yang memaksa.

   "Iya Bunda... nanti jalan-jalan ya," Asya kembali mengangkat tanganya sekuat tenaga.

   Apa yang Ia harus katakan pada Halimah, tentang seluruh pertanyaan di benaknya?

   "Ayah..." Ardi yang sebelumnya melamun kini mengalih fokus pada Halimah, Ia yakin matanya kini berkaca-kaca, "Yuk masuk ke dalam, Bunda dingin."

   Ardi terkejut ketika pelukan itu datang, pelukan dari lengan istrinya yang erat. Badan belakangnya terasa basah dan di ruang tamu yang telah sunyi itu hanya suara tangis dari Halimah.

  "Bunda senang," ucapnya di sela-sela tangis, "Bunda  senang masih bisa pamitan."

   Tangan yang sebelumnya memegang gagang pintu kini mendekap dalam tubuh istrinya. Apa yang akan kau rasakan, bila tau yang tercinta kan pergi? Mungkin cuma tangis yang terus menghiasi.

  "Jangan pergi, jangan pergi," ringgiknya seperti anak kecil. Dan Ardi tau pasti tidak akan bisa menunda kepergian Halimah.

   Siapa saja, tolong, hentikan malaikat maut yang hendak melangkah ke rumah itu. Atau siapa saja, mengadulah pada Allah agar nyawa Halimah tidak pergi. Siapa saja, putarlah waktu agar Ia bisa terus bersama.

   Halimah menarik wajahnya yang sembab akan air mata dan tersenyum, "Ayah, Aku pergi untuk menunggu, jaga Asya untuk kita ya," terbata-bata dalam isakan,  tangannya yang mulai dingin memegang wajah Ardi.

   Ia kini terduduk bersamaan dengan Halimah yang dalam pelukan. Terus menerus tenggelam dalam pecahan suara dan gema tangis yang menyeruak ke seluruh ruangan.

   "Bunda jangan pergi!! Masih ada Asya, masih ada Aaaku di sini," sial Ia tidak dapat jelas mengucapkan permohonan itu.

   Perempuan dalam pelukan itu memejamkan matanya, "Jangan nangis Yah."

   Tidak mau dan tidak dapat berhenti. Lagi-lagi tangis yang terus menyelebung dalam wajah Ardi. Paras gagah yang dulu dikenal Halimah kini berubah jadi lelaki cengeng.

   "Ayah, jangan nangis," Halimah memohon sekali lagi, dan suaminya kini menahan sesak, "terima kasih yah."

   "Terima kasih udah buat aku bahagia, terima kasih sudah ada disampingku, dan terima kasih untuk waktu berduanya," ada apa ini? Kenapa sekarang Halimah yang meneteskan air mata.

   "Dan sekarang, selalu jaga Asya ya... jangan pernah ninggalin Asya. Sama kayak Ayah gak pernah ninggalin Bunda," ia berhenti sejenak, melihat langit-langit yang kini diselubungi sayap-sayap malaikat, "pada akhirnya, Bunda dan Ayah harus pisah, namun untuk menunggu buat bersama, jadi Ayah jangan sedih."

   Ia merangkak, mencoba helaan nafas terakhirnya untuk mendekatkan wajah ke arah Ardi yang masih menunduk dalam. Mencium bibirnya dan membisikkan sesuatu di telinga.

   "Aku cinta kamu Yah, selalu dan selamanya."
Tangis Ardi pecah, bersamaan dengan Halimah yang benar-benar lenyap setelah mengucapkan La Ila Ha Illalah.

   Jasadnya tersenyum, senyum lebar di depan Ardi yang terus menerus meneriakinya. Hari berduka, duka di pagi cerah untuk baju yang terguyur air mata bak hujan.

  "Bunda ... jangan pergi...."

   Entah mengapa seakan semua kenangan indah memutar di pikiran Ardi. Tentang tatapan di ruang perpustakaan kampus, tentang acara resepsi pernikahannya, tentang ciuman pertamanya, semua memutar, membuat kepalanya pusing menahan beban yang begitu sangat. Ia tidak tau harus berbuat apa, dan hanya menatap wajah indah itu diatas telapaknya.

   Apa benar Ia telah pergi? Pergi untuk menunggu, atau pergi selamanya. Berbagai macam perasaan tumpang tindih di pikiran Ardi. Berduet dengan tangis miliknya yang tiada henti.
Hingga akhirnya tergerak menelpon Ibu mertuanya, "Bu... Halimah sudah...pergi."

***

   "Permisi, bu... nyari Asya-nya ada?" Jabir mengetuk pintu masuk, guru SD berkaca mata itu memberi isyarat kepada salah satu muridnya. Dan Asya tau siapa yang datang dengan melangkah ke depan kelas.

   "Paman kok kesini?" Pertanyaan itu tidak dijawab, dengan cepat Asya dipeluk erat. Tidak peduli mereka berdua dikerumuni murid yang lain.

   Jabir tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya menangis dalam pelukan keponakannya. Bagaimana memberitahu Asya tentang Ibunya yang telah tiada. Bahkan ia tidak sanggup melihat wajah sembab Ardi tadi. Penuh duka, seakan kehilangan harapan.

   "Bunda pergi Sya," jawabnya singkat, setelah puluhan pertanyaan Asya. Entah Asya mengerti atau tidak maksudnya. Dan hanya balasan rangkulan keponakannya yang terasa di punggung.

***

   Ciuman terkahir itu mendarat di kening Halimah. Pada akhirnya Ia tau yang bersama akan berpisah, menunggu atau pergi. Semuanya hanya kelam, Halimah telah menyusul ayahnya disana.

   "Aku juga cinta kamu Bunda," bisiknya pelan dalam ciuman itu.

   Tangis itu terus turun, air mata itu terus berjalan menyusuri wajahnya dan jatuh di kening jenazah istrinya. Ia tidak sanggup, menahan semua ini. Apa yang harus dikatakannya pada Asya, apa Ia mengerti? Apa Ia paham?

   Semua pertanyaan itu dijawab saat putrinya kini berteriak dari Arah pintu masuk. Beberapa Ibu-ibu menahan sebisa mungkin, dan akhirnya melepas Asya yang kini memeluk jenazah Bundanya. Menggemakan berkali-kali panggilan Bunda dalam jeritan, menambah muram seisi ruang tamu.

   "Ayah! Bunda kenapa? Bunda kenapa? Bunda bangun! Bunda!" Ia berusaha, tanpa hasil.

   "Asya ...." Ia memeluk putrinya, mencoba membuatnya tenang, "biar Bunda istirahat ya."

***

Sabtu, 14 Mei 2000
Maaf kak, aku baru nulis sekarang. Kemarin Bunda... meninggal...Ayah masih nangis di rumah.

Asya's DiaryWhere stories live. Discover now