Perjanjian Damai

42 8 9
                                    

Sabtu, 10 Februari 2001
Kak ... Aku udah maafin Ayah. Iya, Ayah ajak Asya jalan-jalan terus bilang semuanya ke Asya. Katanya ini buat Ayah dan juga Asya. Ini juga gara-gara Nenek ceramahin Asya hehehe.

Tapi bagaimana ya Kak, kalau begitu nanti Asya punya dua Bunda. Bunda Halimah dan Bunda Lia. Tapi Asya tetap sayang sama Bunda Halimah. Sayangggg banget. Udah ya Kak, Asya mau bobo.

Catatan : Bunda setuju kalau Asya punya Bunda baru nggak?

***

"Asya gak mau pulang ke rumah? Ayah kangen loh," ucap nenek sembari membawakan biskuit menemani cucu tersayang.

"Gak mau." Hanya itu jawabannya. Mungkin niatnya tidak ingin percakapan ini menyinggung masalah di rumah. Membuat nenek harus mencari celah lagi untuk membujuknya pulang ke rumah.

Sudah tiga hari Asya menginap di rumah sang Nenek. Saat itu ia yang sebelumnya sudah jarang main karena fokus belajar tiba-tiba datang dengan Ardi. Kejanggalan lebih terlihat ketika putri kecil tidak ingin menyalami dan mencium pipi sang Raja seperti biasa. Tidak ada senyum perpisahan.

Asya baru membuka suara ketika tiba di depan neneknya. Mengucap salam dan mencium tangan seperti biasa. Kartika yang sudah peka dengan situasinya melihat ke arah Ardi, lelaki itu tampak lelah. Kantong mata yang tidak biasa dengan wajah pucat. Ada apa?

"Ibu titip Asya ya." Ia tiba di kursi beranda. Memejamkan mata akibat kelelahan.

"Kamu dan Asya kenapa? Tidak biasanya marahan  seperti ini." Nenek ikut menemani. Punggungnya sudah tidak bisa bergerak lebih leluasa, perlu tempo yang pas untuk duduk di kursi rotan itu.

"Asya tidak mau aku menikah lagi bu," ucap Ardi singkat. Pusing dengan mengingat kejadian malam itu. Salahnya.

"Sudah nanti Ibu yang bicara dengannya. Kamu fokus kerja saja. Ini hal yang biasa, paling nanti Asya akan nerima dengan sendirinya." Hanya itu yang bisa disampaikan Kartika, setelah terbatuk-batuk tiada henti ia bergegas masuk.

Namun ia salah. Entah karena Asya yang keras kepala atau ini memang perlu waktu. Hingga tiga hari putri kecil tidak pulang ke rumah menemani Ayahnya. Ardi tidak mampu menjemputnya pulang, menyerah dan selama dua hari sekolah mengantarkan seragam Asya.

Perlu waktu sendiri.

"Asya, nenek mau bicara sebentar boleh?" Nenek mengelus rambutnya. Asya yang mendengus kesal dan tahu Neneknya ingin bicara apa hanya mengangguk.

Kalau tidak mau bisa-bisa nenek usir Asya. Memang Asya mau tidur di mana nanti, pikir Asya.

Ia mengangguk, siap mendengarkan apapun itu. Termasuk yang berkaitan dengan berita pernikahan, mungkin baginya itu berita melupakan.

***

"Asya maunya ke mana?" Motor astrea berlalu di antara motor, mobil dan beberapa sepeda. Semuanya menikmati angin yang berembus menyambut senja, hanya seorang di atas motor itu. Begitu banyak pertanyaan berkeliling pusing di kepalanya.

Gadis kecil yang di bonceng tidak menjawab. Tetap membisu dan dari kaca spion kecil terlihat ia memandangi jalanan yang ramai. Ardi mengembus nafas, ia sudah ikut keluar saja sudah bersyukur.

Ini benar-benar memusingkan kau tahu? Ardi seakan sendirian tanpa siapapun di rumah. Putri kecilnya benar-benar menghukumnya akan berita itu. Bahkan tiga hari berlalu ia tetap saja tidak pulang. Ngambek yang keterlaluan.

Motor berhenti berlalu. Dari mukanya Asya menampak kesal, kenapa tidak berjalan saja lagi?

"Yuk turun," ucap Ardi. Asya yang sebelumnya hanya diam di motor digendong paksa. Meronta kesal di pegangannya.

Asya's DiaryWhere stories live. Discover now