Panti Asuhan dan Lia

51 9 11
                                    

Rabu, 27 Desember 2000
Kakak, selamat lebaran. Hari ini Ayah ajak aku ke e ... Pokoknya tempatnya seru kok. Banyak teman, ini Aku cerita bareng kakak di tempat tidur. Tidurnya juga bareng teman-teman yang lain. Pokoknya seru. Terus ada Kak Lia. Dia baik banget.

Asya senang  pokoknya. Kemarin lebaran di rumah nenek sekarang di tempat yang seru ini. Memang sih, tempatnya jauh banget. Rumah besarnya kakek aja masih dekat, Asya sampai tidur dalam kereta hehehe.
Udah dulu ya kak, Asya ngantuk selamat bobo.

Catatan : Bunda Asya kangen. Selamat lebaran Bunda.

***

    Kereta mengantarkan mereka ketika pagi baru memunculkan wajahnya. Asya yang masih menguap satu dua sembari mengucek mata telah setengah sadar. Ardi yang duduk di sebelahnya mulai menikmati pemandangan dari luar rel. Masih asri dan penuh dengan hamparan sawah.

    Sebenarnya mungkin ia agak mendadak memikirkan libur lebaran kali ini. Itu pun karena pertanyaan Asya sewaktu pertengahan ramadan.

    "Ayah, kan Bunda itu punya Bunda itu nenek Kartika. Kalau Ayah punya Bunda itu siapa?"

     Memang sih, sedikit membingungkan ketika pertanyaan itu diajukan. Tapi disitulah yang unik dari Asya.

     Hingga akhirnya Ardi membeli tiket mudik kereta meski mendapatkan jatah untuk berangkat sehari setelah salat ied. Ah, setidaknya ini dapat menjawab pertanyaan Asya dan sesekali ia  pulang ke panti asuhan. Pasti Mamak merindukannya bukan?

     "Ayah kita mau kemana?" Asya mulai bertanya. Tangannya bergegas mencari roti yang dibeli ketika masih di stasiun.

     "Ke rumah Bundanya Ayah. Asya pengen lihat kan?"

     Ia hanya mengangguk cepat dengan sisi bibir yang belepotan coklat roti. Pandangannya beralih ke luar kereta. Melihat sawah dan beberapa kambing yang lewat. Sang Ayah yang sebelumnya tertarik ikut bercerita ria tentang pemandangan di luar. Menebak awan ataupun ikut merasakan angin ketika jendela setengah dibuka.

     Ardi jadi teringat, kala itu ia yang bersikeras untuk kuliah ke kota. Jauh dari ibu panti yang mengurusnya. Jauh dari kawan sebaya teman makan bersama. Hei di mana mereka kali ini? Apa telah sukses menggapai cita-cita. Waktu itu Ujang sendiri bercerita ingin menjadi polisi.

     "Ayah kok senyum-senyum sendiri?" Tanya Asya yang sedari tadi memperhatikan Ayahnya.

     Ia mengelus gemas sang putri kecil. Tersenyum lebar dengan tingkah Asya dan masa lalu manis miliknya. "Nggak, nanti kamu bakal ketemu teman yang asyik."

***

     Dua jam perjalanan dengan kereta dan angkot yang  menyusuri pedesaan. Lalu menaiki becak motor untuk menapaki jalan kecil yang belum diaspal. Semuanya ditempuh empat jam perjalanan. Melelahkan bagi Asya sekaligus menceriakan.

    Seakan Asya memasuki tempat dongeng yang baru. Pohon-pohon menjulang kokoh di tepi desa. Perumahan hanya dibatasi pagar rumput yang tinggi. Sapi dan kuda berlalu lalang tanpa hambatan, beberapa kali ia melihat kelinci melompat. Rerumputan yang tertiup angin menari tanpa henti.

    Becak telah sampai di depan gerbang. Seorang Ibu-ibu dari ujung mata melambaikan tangan. Badannya gempal dengan jilbab lebar. Asya mengira mungkin ia baru saja menyapu dedaunan yang gugur.

     Ayah sepertinya kangen sekali dengan wanita itu.

    Ia menggendong gadis kecilnya agar bisa berlari lebih cepat. meninggalkan sebentar barang bawaan di becak. Setelah sampai beberapa senti dari ibu itu Asya diturunkan. Sang Ayah membuka lengan selebar mungkin. Memeluk ibu itu dengan dekapan dalam dengan berlinang air mata. Asya yang hanya melihat dari sisi saja sudah mengetahui siapa ibu itu. Bundanya Ayah.

Asya's DiaryDove le storie prendono vita. Scoprilo ora