Diary Bunda

109 29 29
                                    

Minggu, 15 Mei 2000

   Asya rindu bunda, kenapa kak, kenapa bunda harus pergi. Kata nenek bunda udah nyusul kakek. Tapi kan, Asya masih disini. Gak ngerti, apa Bunda jahat harus ninggalin Asya? Padahal kan kemarin Bunda janji mau nemenin. Trus kenapa bohong. Kak, aku pengen nangis... huhuhuhu

   Dan juga Ayah masih sedih di rumah, Asya masih tidur di rumah nenek. Kapan Asya bisa pulang? Besok Asya juga harus masuk sekolah. Tapi dah gak ada Bunda.

   Bunda, Asya kangen... Ayah, jangan nangis lagi.

***

   "Asya dimakan lagi ya sayang?" Kartika-Ibu Halimah, nenek Asya hanya menatap sayu. cucunya hanya memainkan piring, menyentuhnya tanpa hasrat sedikitpun. Walau ia tahu Asya belum makan sama sekali.

   "Asya boleh pulang ke Ayah?" Tanya ia berkaca-kaca, sama seperti permohonannya semalam.

   Sang Nenek hanya bisa berhembus risau, dan Ia tidak tahu harus bagaimana. Menghadapi cucu kesayangan yang kini menanggung beban sedih yang teramat sangat. Terlebih lagi, Kartika juga merasakan hal yang sama. Putri kecilnya, kenapa harus pergi mendahului Bunda nak?

   "Asya makan dulu ya, nanti bisa nelpon ke Ayah, gimana?" Ia hanya sekilas memandang wajah nenek. Dari tatapan agar ucapannya tadi sungguhan.

   "Nenek janji?" Kartika mengangguk sebagai jawaban. Ah, bulir bening di mata hampir menetes, merasakan kesepian yang menular.

   Siang dengan awan mendung pada hari itu, akhir pekan tersuram yang pernah Ia rasakan. Selain kehilangan Suami-Ayah Halimah beberapa tahun yang lalu. Kini Ia harus menyaksikan sendiri, telpon sedih antara Asya dan Ayahnya.

   "Ayah gimana kabarnya... masih sakit? Asya pengen pulang... tunggu dulu? Iya dah... Ayah makan ya, jangan sampai lapar."

   Asya menutup meletakkan gagang, tertunduk dalam. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Menelaah hari-hari yang berlalu? Atau memaknai sendiri setiap emosi dan kehilangan yang dirasakannya?

   Kartika datang memeluknya, dekapan milik nenek mengingatkan Asya tentang pelukan Bunda, pelukan terakhirnya kemarin lusa. Dan memekik pecah tangis, membasahi baju. Satu arti dalam setiap tetes, Rindu.

***

   Suara putus tanda telpon ditutup seakan terdengar nyaring. Di dalam rumah kosong tanpa Halimah, serta suara dan canda tawa sang Istri. Ardi menatap suram seluruh ruangan, kenapa Ia seakan linglung. Meratap.

   Tangisnya selalu menyapa di malam hari. Di saat dunia sepi, begitu juga kamar miliknya. Dan masih teringat, selalu dan selamanya wajah indah itu. Sial! Ardi tidak mampu menahan sesak ini, seluruh konflik yang diatur Tuhan benar-benar menyentuh ambang batasnya.

   Apa yang Ardi akan lakukan saat ini? Kenapa Ia sulit menerima kenyataan sang istri telah tiada. Seluruh ingatan dan kenangan yang mencongkol terus berputar, berjalan dan merambat.

   "Ayah? Kenapa sedih terus?" Ardi mengangkat wajahnya. Ada yang memanggil, dari mana? Siapa?

   "Siapa disana?" Ia memutar tubuhnya, jelas tau suara milik siapa. Tapi, Istrinya telah tiada.

   "Ayah, jagain Asya, jangan buat Bunda sedih...." menutup telinganya, hentikan! Ardi tidak ingin gila. Kesedihan dan ratapannya. Tolong! Ia tidak dapat mengatur nafas, sesak.

   Sesuatu memeluknya, tangan lembut dan kini berbicara. Ia merindukan suara itu, dan sejenak mata itu menatapnya sayu, "Ayah ... jangan nangis lagi, Ajarkan pada Asya, buat Ia bisa mendoakan Bunda ya."

Asya's Diaryजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें