Pesan Pembuat Senyum

28 3 2
                                    

Senin, Juli 2003

Kak, Asya sudah SMP! Lihat nih Asya sudah punya baju biru putih. Tadi yang ngantar pendaftaran Ayah. Pokoknya keren banget. Ada banyak teman baru. Ramai.

Terus siangnya Ayah ngajak makan es krim (lagi) ya karena Asya kan suka es krim hehehehe. Anehnya, Ayah terus senyam-senyum lihat hpnya. Nggak tau kenapa. Yang jelas Asya suka!!

***

Hari itu begitu pagi. Baru satu jam sejak matahari meninggi. Namun gerbang sekolah telah menunjukkan aktifitasnya. Ada ratusan kepala wali murid yang siap mendaftar ulang di halaman sekolah, setelah mendapatkan info siapa saja yang tembus di sekolah SLTP yang luamyan top di kota ini. Masing-masing dari mereka memegang erat putra-putri kesayangan. Berdiri dengan telinga yang siap siaga mendengar pengumuman untuk arahan selanjutnya.

Begitu juga lelaki di sana, dengan kemeja berwarna biru muda, celana formal yang sedikit longgar dan tas selempang yang membawa kamera dan catatan penting. Meskipun ia sudah izin kepada bos untuk mengantarkan putri kecilnya untuk pendaftaraan ulang, mungkin saja di tengah perjalanan ada kejadian menarik yang pantas masuk di halaman pertama koran.

"Selamat pagi semuanya," ucap seseorang yang muncul di tengah halaman, tepatnya di halaman basket depan ruang guru. Mungkin guru yang menjadi ketua panitia pendaftaran. Para wali murid yang sebelumnya menemani kini hanya berada di pinggir lapangan. Giliran para calon siswa dan siswi yang kini mendapat giliran. Ada berbagai pengumuman, seperti pembagian kelas, pengumuman MOS, dan tentu saja yang paling membosankan di antara itu semua, sambutan Kepala Sekolah.

Ardi hanya tersenyum kecil ketika putri kecilnya itu berbalik ke belakang, matanya mengisyaratkan keluhan akibat panjanganya sambutan tersebut, belum lagi suara Kepala Sekolah yang terdengar tidak jelas akibat termakan usia. Akhirnya ucapan terima kasih menutup apel pagi penyambutan murid baru. Diiringi juga dengan dering telepon genggam dalam saku celana Ardi.

"Gimana? Lancar?" tulisan yang nampak di layar, membuat senyum di wajah sang Ayah agak merekah dari biasanya.

"Alhamdulillah" balasnya cepat. Layar menunjukkan ikon amplop dengan titik tiga berkedip, terkirim. Tidak menunggu lama juga pesan kembali muncul. Lagi dan lagi pesan itu saling berbalas.

Sebelum itu, di mana Asya?

***

Gadis kecil itu bagai hanyut di tengah keramaian murid baru. Melompat-lompat untuk mencari Ayah. Tadi ayah pakai baju warna apa? Asya berusaha mengingat-ingat. Ah biasanya ia sering menghafal warna baju ayah dengan aroma yang itu-itu saja, apa mungkin hawa di sekolah baru yang membuyarkan konsentrasinya.

Asya mencoba untuk berjalan sendiri, mungkin dengan begini ia bisa cepat mengenal sekolahnya yang baru kan. Beberapa anak lelaki terkesan meliriknya, ya tetap saja Asya yang sedikit peka dengan itu hanya membalas dengan senyum kecil dan tetap mencari kelas yang akan ia tempati, 7A.

Meskipun ia sudah berhati-hati melewati kerumunan itu tetap saja tanpa sengaja seseorang menabraknya dan yang paling sialnya ....

"Asya?" ujar anak lelaki berambut cepak itu. Sangat persis dengan wajahnya di kelas 4 dulu, Ilham.

Gadis kecil itu semakin salah tingkah. Ia masih mengingat kejadian itu, dan syukurlah setelah kelas empat mereka tidak pernah bertemu. Malah kenapa bertemu kembali di sekolah yang sama.

Belum sempat Asya berucap seorang lelaki datang menghampiri, lebih tepatnya menghampiri Ilham. Ia terlihat tidak senang dengan Asya, entah raut wajahnya mengatakan seperti itu. Gadis kecil itu hanya tertegun, menunduk pucat pasi dan tidak tahu harus berbuat apa. Minta maaf kah? Ia kan tidak beerbuat salah apa-apa.

"Asya, dicariin kok malah ilang," suara dari belakanganya, mendekap bahunya hangat, Ayah.

Tidak berlangsung lama, sang Ayah melihat lelaki itu. Memang jelas sempat ada konflik di antara mereka berdua, tapi ayolah ... sudah dua tahun berlalu. Asya melihat kembali wajah Ayahnya yang segera berdiri. Mengulurkan tangan.

Bapaknya Ilham—sebuatan Asya—masih mematung melihat tangan itu. Asya melirik wajah sang Ayah, terlihat tidak gentar dan tetap mengulurkan tangan. Beberapa detik yang terasa lama akhirnya terjawab. Bapak itu menyambut, sedikit memunculkan senyum di balik kumisnya yang lebat. Sama dengan Asya yang tersenyum lebar, dan ikut-ikuttan menyalami paksa bocah gemuk di depannya. Gencatan senjata, perang dingin telah usai.

***

Asya tertawa riang, melihat tingkah sang Ayah dengan krim es krim yang membentuk kumis tipis, "ho ho ho, Aku Bapak Ilham mau menculik Asya."

"Jangan Om, Asya masih kecil," jerit Asya dengan adegan yang sedikit dibuat-buat. Menutup wajahnya dan menjauhkan diri dari terkaman "Bapak Ilham"

Kedai es krim langganan mereka berdua seakan milik berdua. Penjual es krim itu tidak mempermasalahkan apa pun adegan yang mereka perbuat, ya dalam batas wajar dan pembeli lain tidak terganggu. Lagian, Asya dan Ayah sudah hampir menjadi pelanggan tetap di kedai es krim yang satu ini. Bahkan, beberapa kali penjual es krim itu memberikan bonus kepada gadis kecil itu.

"Sudah ah, kan Bapaknya Ilham udah nggak jahat lagi." Ayah mulai menjilati sisa krim di atas bibirnya. Melupakan peran bapak Ilham sebagai tokoh antagonis. Gencatan senjata telah ditandangani.

"Iya, tadi juga Ilham sudah senyum kok sama Asya." Tutur Asya sembari membentuk senyum di pipinya. Menggemaskan!

Siang itu begitu panas, teriknya menyinari jalan hingga membentuk fatamorgana. Beberapa serangga yang Asya tidak kenal namanya berbunyi amat kencang. Semilir angin hanya akan terasa bila menaiki motor dengan Ayah. Ya, bisa dikatakan cerah seperti senyum Ayah ketika ia mendengar bunyi dari telepon genggamnya.

Asya sendiri sempat bingung dari mana asal bunyi tersebut. Maklum, bunyinya seperti kucing mengeong. Akhirnya tahu juga setelah Ayah mengeluarkan benda kotak dengan layar kuning itu.

Lalu sekali lagi senyum Ayah melebar setelah melihat layar telepon genggamnya. Seperti membaca novel milik Bunda. Apa yang Ayah baca dari benda itu.

Asya mencondongkan badannya ke meja. Berusaha mengintip benda "mistis" pembuat senyum. Ayah yang sempat melirik buru-buru membalikkan telepon genggamnya. Sedikit malu dengan tingkahnya sendiri.

"Ya Ayah ... Asya kan juga pengen lihat." Asya kembali ke tempat duduknya. Memasang wajah kecewa.

Sang Ayah hanya tersenyum gemas. Memainkan rambut berponi milik Asya. "Nggak ada kok, hanya teman Ayah yang ngirim pesan," ucap Ayah, senyumnya masih mengembang.

Asya langsung mengenali senyum itu. Senyum setahun yang lalu sebelum ia pulang dengan perasaan kecewa dari panti asuhan. Senyum tanda Ayah mempunyai perasaan yang lain selain Bunda.

"Ayah mau cari Bunda baru lagi?" tanya Asya yang membuat Ayah sedikit tersedak dengan es krimnya. Membuat gadis kecil itu tertawa dengan tingkahnya.

"Asya ini, buat kaget Ayah saja., nggak kok. Ini cuma teman Ayah."

"Ya, siapa tau kan Ayah cari lagi," kata Asya sembari mengaduk-aduk es krimnya yang kian mencair. Membuat embun di sekeliling gelas.

"nggak kok, Ayah janji tidak nangis lagi." Ayah menyerahkan ujung kelingkingnya ke meja.

Asya sedikit melirik, mencoba melihat keyakinan hati di dalam wajah Ayah. Terlebih sudah berapa kali Ayah menangis ditinggal sesuatu. "Yang penting Ayah senang terus Asya sudah suka banget." Asya mengaitkan kelingking miliknya, tersenyum kecil sambil menghabiskan "air" es krimnya.

Setidaknya Asya berpikir hati Ayah yang sempat dingin bagai es krim sudah mencair dengan senyum hangat sebagai tandanya. Tapi ... semoga saja rasanya tidak berkurang. Lalu Ayah? Sekali lagi dering berbunyi kucing itu berbunyi ketika ingin pulang. Pesan singkat yang entah kenapa sekali lagi membuat sang Ayah tersenyum.

"Hahahaha, lucu tau nggak, pengen banget ketemu putri kecilmu itu, gemes." Pesan singkat yang bisu namun Ayah seakan mendengar suara perempuan tersebut, perempuan berkacamata bulat.

Asya's DiaryDove le storie prendono vita. Scoprilo ora