Es Krim Malam Hari

42 2 3
                                    

19 Mei 2001

Ternyata Ayah nggak jadi punya Bunda Lia. Batal, Asya nggak tau harus bagaimana. Asya tidak senang juga sedih sama Ayah. Ayah sedih mulu dari kemarin. Terus pas Asya belikan es krim baru Ayah senang.

Menurut kakak bagaimana? Oh iya, Asya udah mau naik kelas 5 loh ... Udah mau kayak kakak-kakak yang pakai baju biru itu. Bagimana ya nanti? Hehehe.

***

Kereta yang ditumpangi Asya dan Ayah baru saja berlepas dari stasiun. Salah satu titik pemberhentian jika ingin pergi ke panti asuhan yang letaknya masih jauh dari kota. Tepat pukul delapan pagi mereka di dalam gerbong penumpang, mencari tempat duduk yang dekat dengan jendela. Asya masih menahan kantuk. Ia "dipaksa" ayah untuk bangun lebih awal, tepat setelah salat subuh. Langit masih gelap kala itu. Cahaya fajar belum mampu menembus dahan-dahan pohon.

"Ayah kenapa kita pulang cepat," ucapnya dengan menguap kesekian kali. "padahal kan bisa main sama Kak Lia lagi.

Nama itu kembali memberatkan pikiran Ardi. Ia buru-buru mengusap air mata yang jatuh, berusaha tegar di depan Asya yang masih tertidur. Mencium kening putri kecil.

"Maaf ya, Asya belum bisa punya Bunda baru," ucapnya yang mungkin tidak terdengar oleh Asya. Ia masih dalam mimpi.

Kereta tetap melaju cepat. Menderu gagah melewati lembah. Menuju rumah penenang hati, pengingat kasih sayang yang pernah ada. Walau pikirannya masih memutar perpisahan tadi.

"Kak, maaf." Ardi dengan cepat menggeleng. Mengalihkan pandangan ketika senyum Lia saat ia pamit dari panti. Membopong tas yang cukup besar dan Asya yang tidak kuat untuk berjalan.

Mak Jua yang cukup sedih hanya mampu menutup mata. Berharap air mata juga tidak turun. Menepuk pundak putra asuhnya untuk lebih tabah. Pasti ada jalan lain, pasti akan ada cerita yang lebih indah di balik semua ini, pasti ada hikmah.

Ardi tidak membalas ucapan Lia. Hanya tersenyum tipis setelah memeluk Mak Jua. Mengambil langkah seribu dengan diam membisu. Meninggalkan Lia yang sudah memperisiapkan adegan ini, adegan yang tentu saja menyayat hati semua pihak.

Kereta terhenti, sudah memasuki tengah hari. Namun matahari menyembunyikan sinarnya. Rombongan penumpang lain mulai turun satu persatu, mencari kerabat yang menjemput. Kepala Ardi mengelilingi lautan manusia.

"Ayah cari paman Jabir?" tanya Asya yang menggenggam tangannya kuat. Gadis kecil itu sudah segar sekarang.

Tentu dia tidak sedang mencari Iparnya yang sedia dengan mobil. ia terlalu malu untuk mengabari hal ini. Meskipun harus merogoh kocek yang lebih banyak. Tapi tidak apalah, sesekali dan mungkin terakhir kali.

Sang Ayah mengejar taksi yang tersisa.

***

Asya segera merapikan tas bawaanya. Menata kembali di dalam kamar kecil bernuansa biru langit. Bersenandung ria dan akhirnya terhenti, sesuatu mengganggunya. Ah ia lupa menanyakan Ayah kenapa haru pulang lebih cepat dari panti asuhan. Malahan ia belum sempat juga berpamitan pada Nenek Jua.

Dering mengangetkannya. Ia mencari asal suara, bukan dari telepon rumah yang biasa. Ada di samping Ayah, di sisinya yang kini terlelap. Apa benar sedang tidur? Dahinya terlihat lebih mengkerut. Ingin saja Asya mengangkat telepon itu. Tapi, bagaimana caranya. Lagian, ia sudah diperingati Ayah untuk tidak memegang benda aneh itu, katanya berbahaya, Asya belum kuat.

"Ayah ... bangun," ucapnya sepelan mungkin, takut menganggetkan.

Sang Ayah ternyata tidak benar-benar tidur. Terlihat dari wajahnya yang masih gelap, kecapaian dengan perjalanan tadi. Matanya yang dibuat-buat sehabis bangun tidur sangat terlihat.

Asya's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang