Subbab : Berlabuh Hati?

61 9 2
                                    

    Mamak Jua tertawa keras, semua yang ada di meja makan itu tertawa. Ya siapa lagi kalau bukan Asya dengan tingkah imutnya. Dia terus bercerita banyak hal. Mulai dari kejadian lucu Ayah yang berusaha menggoreng ikan ataupun ketika Ayah ternyata fobia dengan katak ketika mereka menyusuri hutan di dekat desa tadi.

    "Terus Ayah bilang 'Asya udah ah jangan main sama katak itu lagi.'" Ia berusaha meniru Ayah semirip mungkin. Menggerakkan tangan dan mulutnya.

    "Udah, udah Asya buat malu Ayahmu saja,"ucap Mamak Jua namun tawanya sendiri belum reda.

    Mereka berempat menikmati makan malam di meja tersendiri, khusus tamu. Jika biasanya Mamak Jua makan bersama anak asuhnya namun malam ini ia menikmati para alumni panti dulu. Dan anak asuhnya yang lain tidak keberatan.

    Makan malam selesai. Semuanya tersenyum ceria kekenyangan kecuali Ayah. Asya hanya bisa menduga Ayahnya sedang memikirkan sesuatu. Sama seperti saat kejadian rumah besar, mungkin memikirkan tiket mereka berdua untuk pulang ke kota. Oh iya, sampai berapa lama Asya menginap di sini?

    "Ayah nanti  Asya bobo bareng teman-teman ya?" Tanya ia sembari menumpuk piring miliknya.

    "Asya berani?" Hanya itu yang direspon oleh Ardi. Meskipun di rumah Asya selalu tidur sendiri.

    Asya hanya mengangguk kencang. Ia paling penasaran dengan barang baru, termasuk tempat tidur tingkat yang ada di kamar panti. Setelah sang Ayah ke belakang beserta Mamak Jua dan Lia, Asya bergegas tidur dan disambut rombongan teman sebayanya.

    Ardi membantu Mamak Jua mencuci piring-piring. Walaupun sang Mamak asuh menyuruhnya tidur dan membiarkan alat makan itu, ia tetap memaksa. Ah, baginya ini menjadi nostalgia saat kecil dulu. Bermain air dan busa sampai tengah malam dengan teman yang lain, lalu masuk angin di pagi harinya. Sekaligus di tempat ini pula terkadang ada pembicaraan serius. Mungkin karena saking sepinya.

    "Mamak," Panggil Ardi. Mamak Jua yang mengisi bak-bak dengan air mengangguk. "Kan Mamak sudah tau kalau mertua Ardi ingin Ardi membentuk keluarga baru."

    Mamak mengalihkan pandangannya. Tau ke mana arah pembicaraan ini berlangsung. Sebagai Ibu dengan puluhan anak dengan karakter berbeda tentu ia terbiasa membaca gerak, mimik dan intonasi  ketika seorang anak bercanda ataupun serius.

    "Terus, Kamu sudah dapat pilihanmu?" Pertanyaan yang to the point. Ardi sudah terbiasa dengan hal itu.

    "Bismillah Mak. Apa Lia sudah ada yang melamar?" Mamak Jua menatap dalam. Kaget dengan pertanyaan barusan. Selang air yang dipegangnya hampir saja terlepas dan yang lebih parah ... Lia ada di sana, mendengar langsung pertanyaan Ardi.

    Lia kalang kabut. Keluar meninggalkan piring dan gelas yang dibawa. Mamak yang masih tidak menyangka pertanyaan itu menyuruh Ardi menyusulnya. Bukan tidak senang, hanya saja ini terlalu mendadak. Apa Lia siap menerimanya dan apa benar Ardi telah beralih sepenuh hati.

    Mamak Jua mengembuskan nafas pelan di tempat cuci piring itu. Menatap cermin dari air berliter-liter yang telah diisi. Ardi sudah dewasa dan mampu menentukan pilihannya. Lia juga begitu, sudah sepantasnya menikah. Begitu cepat dunia berputar dan tinggal para manusia lah yang menghadapi, nasehat suaminya ketika melepas Ardi dulu pergi ke dunia luar.  Sekarang, ia juga harus terus bergerak ketika suaminya pergi ke alam baka.

***

   "Lia!" Ardi mengejarnya. Gadis itu sama seperti dulu, secepat kilat larinya.

    Malam semakin larut. Angin semakin kencang dan dingin tidak membatasi suhunya. Dan drama Ardi kian membara.

    Lia yang di ujung sana akhirnya berhenti. Ia menjatuhkan diri duduk di gelondong kayu tua. Membenamkan wajah pada baju dan sweater hangat. Pusing dengan pembicaraan tadi. Apa yang harus ia lakukan.

    Sang duda mendekat pelan. Tidak lagi berlari karena melihat yang dikejar telah menyerah. Ia benar-benar payah memikirkan hal seperti ini. Kalau pun harus ditolak ia siap.

    "Lia, boleh aku duduk?" Tanya ia mendekat. Tidak ada jawaban dan berarti iya. Ia berusaha tenang, mendiamkan segala hal yang sebenarnya ingin dikeluarkan.

    "Kenapa kakak memilihku?" Tanya Lia pelan. Masih dengan wajah tertunduk dan memainkan semut yang lewat.

    Ardi menjelaskan semuanya. Mulai dari pertama kali bertemu Halimah, ketidak teganya untuk melupakan dan rasa sedih yang berkecambuk, Asya yang semakin besar dan paksaan dari mertua yang mempunyai alasan gadis kecilnya itu memerlukan sosok Bunda. Dan berujung pada hari ini. Di saat ia melihat putri kecil mampu bermain dengan riang bersama Lia dan gadis itu mampu menjadi Bunda sehari bagi Asya.

    "Itu semua menjadi alasanku Lia," ucapnya pelan. Kemudian hening dari keduanya menemani. Blank topic.

    Tiba-tiba gadis itu memukul wajah Ardi. Membuatnya agak tersungkur dan muka bertanya-tanya. "Kenapa?"

    "Ada nyamuk." Polos, mereka berdua tertawa. Seharusnya tidak canggung kan, bukankah mereka hanya teman kecil yang tiba-tiba ... jatuh cinta?

    Lia mengangkat wajahnya. Menatap hamburan bintang dan memejamkan mata. Ia tidak tahu berada di posisi apa saat ini. Memang hati kecilnya ia mengaku pernah naksir dengan Ardi. Namun mengingat ia hanya gadis kampung dan langsung patah hati ketika Mamak Jua menerima surat ia telah menikah hatinya hancur sudah.

   Memaksa diri menyelam ke dunia perkuliahan. Menyibukkan dengan kerja separuh waktu dan sesekali pulang kampung. Ataupun mencoba menaruh hati ke lelaki lain. Semuanya dia lakukan demi hilangnya kenangan akan berita itu. Dan hampir sepuluh tahun sudah dengan surat itu dan Kakak Ardi di sini. Melamarnya.

    "Apa Lia mau?" Ia menanyakannya sekali lagi. Mencoba mencari keyakinan dirinya.

    Lia memainkan  jarinya. Keputusan sulit kau tahu? Semenit, dua menit tiada jawaban. Hanya senyap dan Ardi bersiap untuk kembali ke panti. Langkahnya berhenti ketika gadis itu membuka suara.

    "Lia mau kak, tapi kakak bisa bicarakan dulu dengan Asya. Ini cukup rumit kan?" Jawaban yang cerdas. Membuat Ardi tersenyum puas dan mungkin akan berusaha membicarakannya dengan Asya. Ia melangkah mendekati  Lia. Saat itu bintang dan pepohonan yang menjadi saksi dua insan itu.

    "Terima kasih Lia."

***

    Kereta kembali menderu.  Meninggalkan stasiun dengan Mamak Jua dan Lia di sana. Asya yang melongokkan kepalanya ke luar jendela melambaikan tangan kuat-kuat. Bahasa Inggris yang tidak fasih melantunkan suaranya keras, "bye bye ...."

    Ardi melihat ke arah Lia. Gadis itu tersenyum canggung dan dibalas sebisanya. Ia ikut melambaikan tangan, melepas sang ayah dan anak. Mamak Jua berpesan agar mereka lebih sering main. Ya hitung-hitung sebagai teman saat panti itu mulai sepi.

     Perjalanan berlanjut. Terik mentari pukul dua belas siang mulai mereda. Asya hanya memainkan boneka beruang miliknya sembari memperhatikan Ayah yang terus menerus tersenyum. Ada apa? Mungkinkah sapi di luar kereta yang lucu-lucu, sepertinya tidak. Ah, andai saja ia seperti Kak Lia yang mungkin menemukan spesies sapi yang lucu. Muncul tekad baru di lubuk hatinya, ia bakal berlajar IPA lebih giat.

    "Ayah kenapa?" Ardi panik, tidak sadar Asya memperhatikannya. Membuat Asya tertawa dengan tingkah Ayahnya.

    "Tidak apa-apa, asik kan di panti asuhan," ujar ia, menyembunyikan alasan senyum itu. Dan Asya reflek menceritakan berbagai hal. Termasuk penjelajahan di sungai tadi pagi, ia dan Kakak Lia sempat melihat berang-berang.

    Syukurlah. Asya tidak perlu curiga. Sang Ayah ikut tersenyum memperhatikan putri kecilnya. Pembicaraan penting "itu" nanti saja. Tunggu mereka sampai di rumah. Ardi kembali menatap ponsel dengan layar berwarna kuning di tangannya. Tertulis kontak dengan satu nama, Lia.

Asya's DiaryWhere stories live. Discover now