Hari Baru Yang Sempat Biru

71 28 11
                                    

    Pagi masih hangat saat itu. Asya yang telah siap dengan baju sekolah dan tas kecil berwarna merah jambu menunggu Paman Jabir. Jalanan masih lengang dan hanya dilewati mas-mas becak. Halaman masih ada angin pelan menggiring dedaunan yang gugur. Beberapa kali gadis itu di sapa oleh ibu-ibu yang mengantri sayur.

    Hari pertamanya sekolah tanpa ciuman hangat Bunda. Ah kalau boleh memilih Ia tidak ingin sekolah hari ini. Tiga hari berlalu namun guratan sedih di keluarga mereka masih melekat. Beberapa kali Ia terbangun  di akhir malam, mendengar isak tangis nenek yang terjaga.

   "Asya ... paman dah datang belum?" nenek Kartika memanggilnya dari dalam. Asya hanya mengangguk.

    klakson berbunyi ketika Ia ingin menjawab. Bukan klakson mobil, Asya sangat hafal dengan bunyi itu. Tidak semewah mobil milik Pamannya. Gadis kecil itu sangat merindukan klakson motor Ayahnya.

    "Ayah ... nenek! Ayah datang, hore ..." teriaknya sekeras mungkin, berharap neneknya melihat momen spesial ini.

    Ardi menurunkan standar motornya. Astrea lama dengan kondisi yang cukup bagus. Putri kecil langsung memeluk, pelukan hangat yang Ia rindukan.

    "Ayah, Asya kangen," ucapnya pelan di telinga Ardi, ucapan tulus yang menyakinkan Ardi tidak sendiri di dunia ini.

   "Ayah juga sama, maafkan Ayah ya Sya."

   Meski pelukan itu penuh dengan isakan, Asya seperti tidak peduli. Mungkin pikiran kecilnya membiarkan tangisan lega. Wajar, semua orang dalam berduka saat ini.

   Berbagai macam pikiran mungil itu berkembang dengan sendirinya. Ia bukanlah gadis kecil yang percaya bahwa seseorang yang meninggal akan pulang kembali. hanya saja, siapa yang kuat menahan rindu ketika Bunda telah pergi untuk selamanya.

   Dekapan merenggang. Setelah deru isak itu ditahan sekuat tenaga. Hidup tetap harus berjalan ya kan? Meski seseorang telah berhenti. Dan disinilah dia, tugas yang mungkin cukup berat bagi orang lain, single parent.

   "Yuk Asya harus sekolah, jangan sedih terus, senyum dikit," Ardi mencubit pipinya. Gemas. Padahal Ia tahu dirinya yang sibuk menangis sejak semalam.

   Asya menangguk, menoleh ke arah nenek Kartika yang berkaca-kaca di depan pintu. Melambaikan tangan dan senyum  riang setelah mencium tangan hormat seperti ayahnya.

   "Kamu harus kuat nak," tepukan pelan di punggung Ardi, bisikan dari Ibu mertua yang selama ini menemani keluarga kecilnya.

   "InsyaAllah Bu," balasnya pelan, Asya menunggu di belakang mengadu cepat agar tidak terlambat.

   Hari itu semua berjalan normal, jam dalam diri mereka mulai memutar kembali menanti masa yang akan datang. Apapun yang harus terjadi. Menangisi seseorang yang telah pergi tidak akan mengembalikan mereka.

   Senyum dan nyanyian pagi Asya menemani sang ayah melaju. Riang menyanyikan lagu anak-anak tahun 90-an. Semburat cahaya matahari yang setinggi tongkat, para penyapu jalan yang tersenyum ramah, burung-burung bersenandung cit ... cit ...  cit. Sejenak membuat mereka lupa dengan kejadian menyedihkan itu. bukan. hanya menjeda ingatan yang ada.

***

    Bu kartika mengelus punggung menantunya pelan. Punggung keluarga yang singkat itu, yang menjadi tumpuan putri kecilnya dulu. Ah, ia tidak bisa membayangkan betapa sedih Ardi. Mata sembabnya menjadi bukti.

   Teringat akan wajah semu Halimah ketika dilamar lelaki itu, merah padam layaknya dua pohon jati yang hampir gugur. Tertunduk malu dan sempat tidak menjawab namun pada akhirnya mengangguk setelah mendengar Ardi mendesah.  Ah, masa -masa yang indah. Kenapa harus berlalu dengan cepat? Serasa baru kemarin.

   Lambaian tangan Asya yang riang dan senyum tipis Ardi ketika motor astrea itu berlalu, meninggalkan sang Nenek sendiri di rumah. Menyesap teh panas yang menurun suhunya karena di tinggal lama menggoreng tempe. Setelah hari-hari biru yang banyak Ia lalui. Menyibukkan diri adalah obat baginya.

   Sama di pagi hari ini, menuliskan berbagai hal, menjahit kata-kata indah. Tentang cerita fiksi darinya, atau kenangan bersama sang  suami dahulu. Kata-kata gombal dari lelaki itu terpampang jelas di buku yang ditulisnya, "Lelaki Sederhana : Pemilik Kata Indah."

   Tidak menunggu lama mesin tik tua berhenti sembari deru mobil pelan terparkir pelan.  Si Sulung Jabir keluar dari mobil itu, terburu-buru ke arahnya.

   "Asya sudah berangkat, tadi Ardi yang nganter," berkata pelan, setelah menyesap teh hangat.

   Jabir yang lega langsung ambruk di kursi rotan. Deras keringat lelahnya di pagi hari menjelaskan semuanya. Tangannya terlihat kebas, habis mendorong mobil seratus meter mencari bengkel terdekat.

   Kartika kembali memainkan jarinya, lihai dan tangkas seakan hafal semua posisi huruf yang ada. Dan pagi hari seperti biasanya akan dimulai, ketika Jabir menghela nafas dan berkeluh kesah kesehariannya. Apa lagi coba selain pekerjaannya yang sebagai arsitek swasta dan istrinya yang memang sedikit aktif berbicara, terutama kalau PMS. Namun ada tiba saatnya Ia berbicara tentang masa depan, masa tua yang tenang, memuji istrinya dengan konotasi yang berbeda. Anak sulungnya sulit ditebak alurnya ketika berbicara.

  "Bu," nadanya serius, mengalahkan sang Ibu yang sibuk memainkan kata kini mengangkat dagu, "apa Ardi bisa menikah lagi?" Mesin tik itu sepenuhnya berhenti.

***

Senin, 16 Mei 2000

Horeeee! Kak aku sudah pulang ke rumah, tadi Ayah juga yang mengantar Asya pergi ke sekolah. Kakak tau ndak? Aku dan Ayah sudah ngobrol lagi. Ayah senang banget. Malamnya Ayah dan Aku makan ayam goreng, cuman masih ada rasa kopinya hehehe.

Cuman di sekolah tadi Asya sempat sedih. Buguru Eli nanyain Ibu, memangnya Bu eli nggak tau? Kan jadi ingat lagi. Asya jadi nangis di belakang sekolah, sedih.

***

Asya's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang